Kamis, 03 September 2015

Mantenan dan Keping Pertamanya


Saya kadang lupa kalau sudah menikah, masih suka bertingkah aneh, cengengesan, dan malas-malasan. Tapi kesedihan yang membuat saya merasa kadang tidak siap betul menikah itu bukan karena tidak pandai memasak atau tidak terampil ini itu, melainkan meninggalkan keponakan saya tercinta, Nameera, dalam kesediriannya lagi. Nameera tidak  pernah benar-benar sendiri, banyak orang tersayang membanjirinya dengan cinta. Tapi saya yang sudah terlanjur sok-sokan pasang badan di sampingnya setahun ini merasa membuat lubang di hatinya. Di hati saya sendiri. Lebih tepatnya, saya bukan tidak siap menikah, melainkan saya tidak siap meninggalkan Nameera.

Sejak sebelum menikah, berkali-kali dalam nada yang sendu, saya menceritakan Nameera pada Mas Ofa dengan kadar emosi yang bahkan saya sendiri tak bisa mengontrolnya. Setelah menikah, saya tidak berubah. Kali ini ada bahu Mas Ofa yang siap saya sandari tiap kali ngilu dalam hati muncul.

Hubungan saya dan Na itu rumit tapi juga sederhana. Sederhana karena jelas saya tantenya dan Na ponakan saya. Rumit karena Na bagi saya terlajur spesial sejak ia lahir, sejak bahkan saya belum melihat wajahnya, ia sudah membuat saya menangis bahagia di tengah malam dalam jarak 200 km. Kalau ada kecanggungan sebagai manten baru apalagi di rumah mertua dengan segala ketidakterampilan saya dalam banyak hal, itu tidak ada apa-apanya dibanding kerinduan saya terhadap Na.


-

Maret lalu, ketika balasan lamaran ke Temanggung, 26 Juli 2015 dilingkari sebagai bakal hari bahagia saya dan Mas Ofa. Dalam majelis itu diputuskan juga bahwa KH. Mustofa Bisri akan diaturi untuk jadi akid yang menerima taukil dari ayah saya selaku wali. Voila, semua terjadi dengan sangat cepat! Meski sejujurnya saya lebih senang dinikahkan langsung oleh ayah saya. Tapi Mas Ofa mengingatkan saya, menikahkan itu hak ayah, terserah ayah kalau mau menaukilkan pada siapa. Saya merenunginya, iya saya menerimanya.

Ibu adalah penggerak utama dalam rentetan acara pernikahan kami. Mulai dari membuat rencana, mengatur belanja, mengorkestrasi orang dapur, tukang renovasi rumah, dan panitia lapangan, menerima dawuh ayah yang kadang sulit diterima, dan ketegangan ini itu, Ibu yang pertama terdampak. Syukur kesehatan Ibu jauh lebih baik daripada bertahun-tahun lalu, daripada saat kedua kakak saya menikah. Lebih jauh lagi, saya bahagia karena keluarga saya lengkap. Keempat kakak saya beserta anak-anaknya hadir dan terlibat aktif menyiapkan acara tasyakuran, meski harus berkorban waktu dan tenaga yang besar.

Karena sudah dua kali menjadi panitia pernikahan, saya tidak bisa menghentikan diri saya untuk ikut mengatur acara saya sendiri, meski ini membuat saya stres. Hehe. Kalau acara resepsi di Tambakberas sangat banyak sesi fotonya, saya mohon maaf pada hadirin sekalian karena saya maksa banget sesi foto harus lengkap dan genap. Pada akhirnya juga kurang satu, kelewat satu sesi foto bersama Bani Sulaiman, keluarga besar dari pihak Mbah Putri L Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini.

-

Mbak Alissa Wahid meledek kalau acara nikah kami di Jombang itu adalah side event Muktamar NU ke-33. Sudah waktunya lima hari sebelum Muktamar, yang menyerahkan dari keluarga putra KH. Said Asrori (periode ini diangkat menjadi jajaran Rois Syuriah PBNU), yang menerima KH. Malik Madani (periode lalu Katib ‘Am PBNU), dan mauidzoh hasanah disampaikan KH Mustofa Bisri (Rois Am PBNU yang menolak menjabat). 

Mungkin orang melihat ampuh nih pentolan syuriah pada hadir, padahal ayah saya ‘Cuma’ ngurusin NU tingkat kecamatan. Saya tentu bahagia beliau-beliau menyempatkan hadir ke rumah di sela-sela kesibukan jelang Muktamar. Tapi yang membuat hati saya menghangat adalah ketulusan doa beliau dan semua yang hadir dengan dan tanpa kebesaran yang tampak. Ketulusan dari hati hanya dapat dirasakan oleh hati, selainnya hanya sampai di mata dan telinga. Saya berterima kasih pada kerabat dan sahabat semuanya yang sudah turut mendoakan perjalanan panjang kami ke depan.

Empat hari setelah acara, ketika kami lagi senangnya kasak-kusuk cerita ini itu berdua, Gus Mus kembali memarkir mobilnya sebentar di seberang sungai depan rumah. Beliau telepon Mas Ofa yang pernah menawarkan rumah untuk tempat istirahat selama Muktamar. Gus Mus tidak bersedia menempati Suite Room hotel Yusro yang disediakan panitia. Dengan gontai karena bangun dari jatuh tidur siang, Mas Ofa mengantarkan Gus Mus ke rumah yang dimaksud dan saya menyusul di belakang. Singkat cerita setelah mempertimbangkan beberapa tawaran yang datang, Gus Mus memilih rumah di sebelah utara makam Mbah Wahab yang tidak lain rumah kosong milik bulek saya tercinta, Bulek Atik.

Saya buru-buru ke tukang plat nomor di depan RSUD  Jombang, menggandakan plat nomor mobil ayah. Sejam rampung, plat itu langsung saya serahkan untuk dipasang sementara menggantikan plat yang populer K141KU.  Tak heran kalau Gus Mus keluar masuk dari rumah itu dengan selamat tanpa diketahui orang. Padahal makam Mbah Wahab selalu ramai ditambah ada pameran akik di sebelahnya.

Karena Gus Mus tak ingin merepotkan keluarga kami, Mas Ofa menawarkan diri (juga diri saya) untuk menemani Pakde Mus dan Bude Fatma selama  menghuni rumah itu. Saya lantas gelagapan, dengan apa saya harus melayani Pakde Bude sementara saya tidak bisa masak T.T. Dengan sukses, menu pertama yang tersedia adalah sambel terong, tempe yang agak kehitam-hitaman, telur dadar, sup, dan alhamdulillah tuan rumah membawakan gurame goreng dan bakar :D

Hari-hari setelah itu relatif lancar karena keluarga kami memang suka merepotkan diri, setiap hari ada makanan matang dan setengah matang datang ke rumah dan Voila, siap dihidangkan!




Menemani Pakde Mus dan Bude Fatma itu mudah karena beliau berdua sederhana dan merasa cocok diaturi makanan apa saja. Yang bikin saya kepontal-pontal justru instruksi tuan rumah, Bulek Atik, yang kalau saya menyajikan ndlewer dikit langsung dikoreksi. Betapa tidak terampilnya saya. Setelah saya kini menjajal rumah Mas Ofa, pengalaman belajar dengan Bulek Atik jauh lebih berat daripada dengan mertua :D

Dua hari sebelum Muktamar dimulai, suasana di rumah tenteram saja. Pakde banyak bercerita tentang Abah almarhum. Menurut cerita yang diterima Mas Ofa, Gus Mus memberikan namanya untuk Mas Ofa kecil yang baru lahir. Tapi Gus Mus mengelak. “Abahmu sing ngefans karo aku,” pungkas beliau disusul tawa bersahut-sahutan.

Ketika pembukaan Muktamar, Gus Mus tidak bersedia dijemput patwal sejak dari rumah singgah. Mas Ofa mengatur pertemuan di bengkel Mada Auto Care yang dikelola kakak  saya, Mas Imdad. Saya memilih di rumah saja meski sepertinya hanya kemarin satu-satunya kesempatan saya seumur hidup bisa masuk ke arena pembukaan Muktamar tanpa hambatan.  Sepulang dari arena, ternyata semobil lapar karena tidak nyaman makan di pendopo. Akhirnya dengan kucek-kucek mata, saya dan Bulek Atik yang dari tadi menemani saya di rumahnya sendiri, menyambut Pakde Mus, Bude Fatma, dan Mas Ofa dengan dua mangkuk besar mie goreng dan mie godok pedas. Sluuuurp!

Selama Muktamar, Pakde Mus tidak bersedia ditemui siapa pun yang berkepentingan dengan Muktamar. Setahu saya yang tidak banyak tahu, Pakde Mus menolak ajakan bertemu. Kalau pun Pakde Mus menghendaki bertemu, beliau ngalahi bertemu di luar rumah, termasuk dengan Pak Nadirsyah Hosen di warung Pojok II Perak. Saya lagi-lagi di rumah saja karena Bude Fatma juga tidak ikut. Berkali-kali saya tawari Bude Fatma keluar rumah sekadar lihat-lihat pameran. Tapi Bude selalu menolak, katanya urusan oleh-oleh sudah dibereskan Mas Rizal, menantunya.

Karena sudah niat laden di rumah itu, tamu-tamu yang ta’khir manten di rumah Ayah Ibu banyak yang tidak bertemu manten. Selama Muktamar, kami juga tidak bisa mengemukakan alasan dengan gamblang karena Gus Mus tidak ingin tempat istirahatnya diketahui orang. Saya dan Mas Ofa minta maaf sebesar-besarnya.

Kalau Pakde dan Bude sudah di kamar malam hari, Mas Ofa sering mengendap-endap keluar sampai subuh ketemu teman-teman lama, karena kesempatannya hanya malam hari. Muktamar itu sebenarnya tidak merepotkan hanya saja banyak orang yang membuat repot diri sendiri selama Muktamar, termasuk mas Ofa ^^v

Setiap ketegangan di arena Muktamar merambat dengan cepat ke rumah persembunyian kami. Ketika sidang tatib yang panas, sidang komisi ahwa, dan musyawarah ahwa. Tapi tidak sekali pun saya melihat kekalutan yang berlebihan di wajah Pakde. Sepulang dari pidatonya yang luar biasa menggetarkan untuk menenangkan sidang tatib, di mobil Pakde menyelimurkan kegundahan hatinya dengan nggojek. Sementara sepenuturan Mas Ofa, hatinya saja belum selesai meleleh, Pakde sudah meninggalkan kekecewaan di arena Muktamar semari tetap membawa rasa malu kepada masyayikh. Sampai di rumah, kebetulan Ibu dan Na datang. Pakde langsung saja menanggap Na yang kenes menyanyikan lagu Ya Lal Wathon-nya Mbah Wahab. Seolah biasa saja, tapi saya tak pernah tahu apa yang ada di dalam hati beliau.

Pagi ketika kembali pleno di alun-alun mengetok hasil komisi-komisi, Mas Ofa sudah disangoni Pakde Mus surat yang sejak kemarinnya sudah dibawa ke komisi organisasi di Denanyar. Rabu pagi itu, Mas Ofa ditimbali Pakde untuk diberi isi surat yang baru ditukar dengan yang lama. Lalu saya membantu membungkus kembali surat itu dalam amplop cokelat berukuran sedang. Ketika saya tanya apa isi surat itu, Mas Ofa menggeleng sama tidak tahunya.

Akhirnya Pakde, Bude, Mas Ofa, Saya, dan Mas Irul (yang nderekkan Pakde) bersama menuju alun-alun. Pertama kali itu saya mampir sebentar ke arena Muktamar. Pakde dan Mas Ofa turun menuju rumah Sekda yang dijadikan base camp PBNU. Saya dan Bude akhirnya jalan-jalan ke NU Expo di Stadion Jombang.

Pas ketika kami berdua selesai berkeliling, Mas Nabil, kakak ipar saya, telepon kalau dia akan mengantarkan Pakde ke stadion. Urusan Pakde selesai sudah di alun-alun. Pakde tidak perlu hadir di forum yang akan mendomisionerkan dirinya. Di jalan Kiai Said Aqil menelepon dan Pakde hanya titip salam terima kasih dan minta maaf.

Sampai di rumah, Pakde tampak gusar menunggu sidang ahwa. Di alun-alun, Mas Ofa melaksanakan tugasnya sebagai pemyampai pesan. Mas Ofa masuk ruangan sebelum sidang dimulai dan bertemu empat mata dengan Kiai Ma’ruf Amin. Sebelum menyampaikan pesan, Mas Ofa sempat meminta doa untuk pernikahan kami berdua. Setelah itu, baru lah surat disampaikan ke Kiai Ma’ruf yang lantas dibawa ke musyawarah Ahwa.

Bada ashar, Mbak Yenni dan Mbak Alissa diperbolehkan Pakde sowan ke rumah persembunyian. Lagi pula Muktamar akan segera selesai dalam hitungan jam. Saya sengaja menghindar dari perbincangan itu. setelah Mbak Yenni pamit, saya baru nimbrung sambil menemani Mbak Alissa yang sedang menemani Gus Mus. Kabar datang kalau Ahlul Halli wal Aqdi memutuskan memilih Gus Mus sebagai Rois Am dan Kiai Ma’ruf sebagai wakil Rois Am. Sebelum maghrib, Gus Yahya sempat bolak-balik dua kali. Barangkali Gus Yahya mau minta sekali lagi Gus Mus bersedia menerima keputusan Ahwa. Tapi yang terjadi sebaliknya, Gus Mus meyakinkan Gus Yahya bahwa beliau sudah menyatakan tidak bersedia secara resmi sebelum majelis ahwa berlangsung dan beliau kukuh dengan pendiriannya.

Seperti banyak diketahui orang, Gus Mus mengharapkan Mbah Maimoen yang jadi Rois Am sebab kesepuhan dan kealiman beliau. Sebaliknya, Mbah Moen menghendaki Gus Mus yang jadi Rois Am. Tepat di situ, Gus Mus menceritakan pengalamannya ketika didorong-dorong sowan Kiai As’ad agar beliau berkenan menjadi Rois Am. Kiai As’ad yang saat itu tengah istirahat di amben kayu sederhana ngendika, Malaikat Jibril yang minta saja saya tidak akan mau. Lalu Gus Mus sowan Mbah Ali yang akhirnya membuahkan hasil. Gus Mus adalah santri kinasih Mbah Ali, tapi melalui pengalaman itu Gus Mus melihat sisi lain Mbah Ali yang belum pernah Gus Mus lihat. Usai bercerita, Gus Mus berkelakar, mungkin ini karma. Saya pun ikut tertawa, tapi hati saya bergetar luar biasa.

Bada sholat maghrib, saya menemani Pakde Mus dan Mbak Alissa makan ikan penyet dan sayur asem seadanya kiriman dari ndalem Mbah Putri. Saya memberanikan diri bertanya pada Pakde, kalau bukan Mbah Moen yang terpilih Rois Am, lalu tujuan Pakde mundur agar yang paling sepuh, paling faqih dan paling alim yang terpilih berarti tidak tercapai. Pakde menjawab, Kiai Ma’ruf bagaimanapun lebih faqih dan lebih alim dari Pakde Mus. Ya Allah..

Tak lama, Mas Ofa dan Mas Nabil datang dengan wajah yang luar biasa tegang. Perasaan Mas Ofa campur aduk karena merasa tidak berhasil melaksanakan misi. Lebih dari itu, situasi yang tidak terkendali di alun-alun dan gosip tentang Tebuireng membuat kalut. Tapi Pakde mendengarkan laporan Mas Ofa dan Mas Nabil sembari dahar dengan lahap. Yang sudah berat tak usah dibikin jadi tambah berat, begitu kira-kira. Selama bersama Gus Mus, saya yang tidak mengenal baik Gus Mus melihat beliau melaksanakan nasihatnya sendiri, sing sakmadya sing  sakmadya..

Esok harinya, Gus Mus melaksanakan nadzar jika tidak jadi Rois Am. Nadzarnya banyak sekali; sowan ke empat masyayikh pesantren di Jombang, nyate di Pak Faqih Cukir, nginap di Pacet, dan mungkin ada lagi yang lain. Sowan Gus Mus ke makam Mbah Hasyim itu yang paling menyayat hati. Beliau meminta maaf dan memintakan maaf untuk santri-santri ruhaniyah Mbah Hasyim. Batin Gus Mus, Muktamar dibawa ke Jombang agar orang-orang itu malu pada masyayikh, tapi yang terjadi malah sebaliknya, menginjak muruah NU di depan mata pendahulu.

-

Berkali-kali Pakde Mus ngendika,” salahe dewe dadi manten pas muktamar. Muktamar keterak muktamar.”  Saya capek iya, tapi pengalaman bersama Pakde Mus sangat berarti buat saya. Meski kami dibilang belum bulan madu, belum senang-senang, apalagi yang lebih menyenangkan dari mengisi hari-hari awal nikah dengan meladeni manten lawas semenarik Pakde Mus dan Bude Fatma yang hangat, bijak, dan tentu kocak. Semoga selama hidup kami, kami senantiasa diberi rizki untuk khidmah, sakmadya, sederhana, dan istiqomah semampu kami.

Juga semoga Allah selalu melindungi Nameera. Na mengajari saya lebih banyak hal daripada yang saya ajarkan padanya selama quality time kami yang terbatas oleh keterbatasan saya. I love you, Na, always..

Ngadirejo, 4 September 2015












17 komentar:

  1. Ning... ada rasa gimana gitu baca tulisan ini

    BalasHapus
  2. Halo adik baru. Salam kenal yaa.. Tulisanmu bagus. Terimakasih ya udah menemani dan meladeni Pakde Bude..

    BalasHapus
  3. Abine Fathan Fadyan4 September 2015 pukul 09.25

    #tak sengaja mengklik tautan
    #sejenak merasa tersasar
    #membaca tulisan yg menggetarkan
    #baru tersadar...

    Ternyata ini lembar-lembarmu ya, Bel
    Subhaanallah. Bagus sekali, Bel!
    Apalagi membaca tulisan di atas. Ya Allah.. serasa ikut melayang lagi ke titik penting muktamar: Gus Mus. Padahal ini tulisan ttg Nameera yah! Hehehe.

    Salam kenal utk Mas Ofa, Bel...

    BalasHapus
  4. subhanallah.. berkah sekali ning.. ;)

    BalasHapus
  5. Masya Allah,tulisan&penulis yg luar biasa.smg kalian berdua sll samara.salam kenal sy abu salsabila.fans gus ofa sjk di madrasah ypru.

    BalasHapus
  6. Masya Allah,tulisan&penulis yg luar biasa.smg kalian berdua sll samara.salam kenal sy abu salsabila.fans gus ofa sjk di madrasah ypru.

    BalasHapus
  7. Haii teman yg lamaa tak bersuaa.....
    Kapan bisaa meetup? Kangen bercengkrama bareng lagii....
    Tulisanmu suksess bikin dagdigdug 😊

    BalasHapus
  8. Haii teman yg lamaa tak bersuaa.....
    Kapan bisaa meetup? Kangen bercengkrama bareng lagii....
    Tulisanmu suksess bikin dagdigdug 😊

    BalasHapus
  9. Pertama kali lihaat blogmu bel aku menngis bukan karena cerita dibalik muktamar tapi saat kau menceritakan soaok gadis kecilku yang selama ini juga menemani hari hriku bersama anak dan suamiku bahkan sampai dianggap dia ank pertamaku aq bilang aja iya dia memang anakku hehe sekalian ben komplit cewek cowok hehe, ketika ku melihat dia tidur aku menangis jadi flashbck ketika kecil n bayinya dia ketika aq mengantar kan dia imunisasi dan ke dokter karena terburu buru sampai nabrak pagar ATM sebuah bank hehhe, dalam doakan semoga dia menjadi anak kuat, sehat, bijak, timbuh dengan kasih sayang yang tak terhingga, semoga kita bisa mengiringi perjalanan hidupnya sampai dewasa kelak. Amien, btw bel met menempuh hidup baru jadi istri ya dan semoga berkah apalagi manten anyar langsung pengabdian demi NU hehehe, love u tante bela... Terima kasih karena menyayangi anak kita"hehe"

    BalasHapus
  10. Aku seneng maca tulisan iki :)

    BalasHapus
  11. Lanjutkan mb Nabil Tulisannya super keren membuat mrinding

    BalasHapus

jangan lupa dikomen ya! :)