Jumat, 30 Desember 2011

Gairah Petani Gula Semut dari Lereng Menoreh

oleh: Nabilah Munsyarihah


Pegunungan Menoreh  tak pernah kehilangan pesona. Dipandang dari jauh atau dekat, ia tetap memikat. Pantulan cahaya matahari membuat pepohonan serupa karpet yang bergelombang. Sore itu, saya berkali-kali melambatkan laju sepeda. Tiupan angin yang sejuk dan bersih membuat saya ingin berlama-lama menghirup udara. Dari perbukitan ini, Sungai Progo terlihat meliuk-liuk, memanjang hingga ke Pantai Selatan Jawa.

Sebelah barat Sungai Progo ialah Kabupaten Kulon Progo, sebuah nama yang diserap mentah-mentah dari kenyataan geografis. Wilayah di tepi DIY ini memang kurang dikenal. Orang dari luar daerah kerap membayangkan Yogyakarta tanpa Kulon Progo di dalamnya. Wisatawan lebih mengenal Malioboro, Prambanan, atau Parangtritis daripada Bukit Menoreh dan Waduk Sermo. Saya tertegun, imaji itu sebangun dengan anggapan dan kalkulasi tentang gula yang melulu soal gula kristal pabrikan. Nasib gula merah selalu tak masuk hitungan.

Saya tengah menuju Dusun Branti. Letaknya persis di bawah bukit Gajah, bagian dari Pebukitan Menoreh (828 m dpl). Di sepanjang jalan yang naik turun, saya kerap menyaksikan penyadap nira memanjat pohon kelapa yang tingginya sekitar 30 meter. Lurus saja. Di sana ada tanjakan. Ada batu besar lalu belok kiri. Di situ rumah Pak Ndut,” tunjuk seorang bapak yang tengah melepas lelah di tepian kebun kelapa.

Dengan Pak Ndut, sehari sebelumnya, lewat sms dan telepon, saya sudah bikin janji untuk bertemu. “Ini benar, Pak Ndut?” tanya saya sambil menjabat tangannya. Perawakannya tak segendut yang saya kira, cenderung kurus dan tegap.  “Di sini ada banyak Paiman. Biar ndak salah sebut, orang-orang memanggil saya Paiman Gendut,” jawabnya sambil terkekeh.
Seperti halnya warga sekitar, Pak Ndut juga penyadap nira. Sudah tiga puluh tahun, tiap hari, tiap sore dan pagi. Ia meyadap nira untuk kemudian diolah menjadi gula merah. Dulu, gula Pak Ndut dibeli tengkulak dengan harga Rp 3.500/kg. Harga gula merah selalu di bawah gula kristal pabrikan. Satu kilogram gula merah kerap tak cukup buat beli satu kilogram beras. Sudah begitu, petani gula merah Kulon Progo sering digencet sistem ijon. Gula merah memang manis, tapi petani justru sering menelan kepahitan.
Tapi, sejak 2008 jalan hidup Pak Ndut mulai berubah.
Dari Kiri: Bu Tukijem, saya, dan Bu Tutik di Nanggulan

Jatirogo: Menghimpun Kemandirian
Laporan resmi statistik menyebutkan, lebih dari 40 persen penduduk Kabupaten Kulon Progo adalah petani. Mereka menggarap sawah dengan hasil ribuan ton padi tiap tahunnya, mengerjakan ladang dengan hasil palawija yang melimpah, juga kebun-kebun kelapa. Perut bumi Kulon Progo juga kaya tambang. Salah satu potensi tambangnya, pasir besi di pesisir selatan, kini masih dalam sengketa.

Pertanian bukan hanya perkara mata pencaharian, tapi  juga perjuangan. Tahun 2000, sekelompok petani menghimpun diri membentuk Jatirogo. Ini organisasi yang menghimpun  belasan ribu petani dari 12 kecamatan di Kulon Progo. Jatirogo juga dimaknai sebagai sejati ning rogo. Pertanian itu sejatinya membentuk manusia seutuhnya sebab pertanian menyediakan sumber energi bagi manusia untuk meneruskan kehidupan.

Jatirogo bergerak melalui empat roda, yakni divisi jaringan, divisi advokasi, divisi ekonomi, dan divisi usaha tani. Semua itu bertujuan untuk membantu petani mencapai kemandirian dan kesejahteraan. Salah satu programnya ialah mengajak petani yang terhimpun di Jatirogo untuk bertani secara organik. Bertani organik merupakan cara bertani yang manunggal dengan alam sekaligus perlawanan terhadap ketergantungan bahan-bahan pertanian kimia-sintetik. Belakangan, biaya bertani makin mahal. Segala bibit, pupuk, dan pestisida dikuasai oleh jaringan pedagang yang acap kali justru didukung Dinas Pertanian. Gejala ini, seperti banyak diketahui, berawal dari revolusi hijau yang menciptakan benih-benih transgenik. Di Indonesia, revolusi hijau diterjemahkan oleh Orde baru dengan Program Bimas.

Salah satu imbasnya, petani tak  lagi semandiri leluhur dalam hal pelestarian bibit unggul, budidaya tanaman, dan pembasmian hama. Gerak bisnis bahan dan obat pertanian semakin mencekik petani, sembari secara perlahan dan pasti kabar gagal panen datang dari berbagai penjuru. Sektor agraria negeri ini perlahan lumpuh dan kehilangan kemandiriannya. Akibatnya, negeri dengan sawah dan kebun luas menghampar ini justru makin tergantung pada beras, gula, dan kedelai impor.

Para petani Jatirogo menolak ketergantungan itu dengan cara mereka sendiri.
Siang itu Tukijem beserta suami hendak menuju kota Yogyakarta. Mereka menyusuri jalan turunan yang berkelok-kelok di Kecamatan Samigaluh. Di tengah perjalanan, mereka singgah di rumah Hendrastuti yang berjarak 45 menit dari kediaman mereka. Agar kunjungannya tak sia-sia, Tukijem terlebih dulu membuat janji dengan tuan rumah melalui SMS. Misinya, Tukijem mau hitung-hitungan gula merah yang ia jual ke Koperasi Serba Usaha Jatirogo (KSU Jatirogo).

Tuan rumah yang dikunjungi Tukijem adalah Ketua Jatirogo. Ibu dua anak itu perempuan yang gigih, cerdas, dan tulus. Bu Tuti, demikian ia akrab disapa, merajut jaringan Jatirogo dengan berbagai lembaga dan perguruan tinggi di dalam dan luar Yogyakarta. Ia akrab dengan sejumlah akademisi, aktivis LSM, dan orang-orang pemerintahan. Ia berkali-kali duduk semeja dengan peneliti dan pejabat di berbagai forum untuk memperbincangkan pertanian. Ia juga terlibat dalam berbagai upaya advokasi perihal kehidupan petani dan masyarakat desa. Keinginannya untuk minterke (mencerdaskan) petani memberikannya kekuatan fisik yang luar biasa sampai usianya yang kini sudah mencapai 54 tahun.

Bu Tuti mengakui, teguh untuk bertani organik bukan perkara mudah. Banyak petani di daerahnya yang menolak karena hasilnya memang tak semelimpah pertanian konvensional. Padahal dengan ilmu titen dan cara bertani tradisional, sebenarnya petani mempunyai  kearifan asli. “Petani itu dianggap bodoh karena yang dianggap pinter itu orang sarjana. Petani punya kepinteran tetapi cuma malas mencatat,” Bu Tuti berpendapat.

Sejak 2008, KSU Jatirogo menggarap bisnis gula semut. Di hotel atau swalayan perkotaan, gula semut lebih populer dengan nama brown sugar. Gula semut ini dikirim ke berbagai negara. Mula-mula Kanada lalu merambah Jerman. Bisnis ini berawal dari melimpahnya produksi gula dari nira kelapa di Kulon Progo. Lantas ada tawaran dari sebuah perusahaan eksportir asal Bali untuk menjual gula merah dalam rupa bubuk ke mancanegara. Bu Tuti pun mulai bergerilya. Ia bersama teman-temannya di Jatirogo membentuk manajemen dengan pembagian kerja profesional dan menyosialisasikan kepada para petani. Hingga kini, tidak kurang dari 1300 petani terlibat dalam bisnis gula semut ini.

Pembuatan gula semut cukup mudah. Bedanya dengan gula jawa (biasanya berbentuk batok atau silinder), gula semut ini tidak dicetak, melainkan digerus ketika adonan gula mulai kering usai mentas dari perapian. “Gula ini dikerjakan petani dari lima kecamatan, Girimulyo, Kokap, Samigaluh, Lendah, dan Kalibawang. Girmulyo dan Kokap paling banyak memasok,” tutur Bu Tuti.
Pak Ndut menggerus gula semut

Gula kelapa produksi KSU Jatirogo ini ditanam dan diolah secara organik. Dengan asistensi dari Hivos, KSU mendapat sertifikat organik dari Control Union yang bertempat di Belanda. Setiap tahun KSU Jatirogo membutuhkan biaya Rp 150 juta untuk memperpanjang sertifikat. Sertifikasi ini penting dilakukan sebab pasar gula semut adalah negara-negara Barat yang peduli pada standar mutu produk.

Untuk memperoleh perpanjang sertifikat, KSU Jatirogo beserta Control Union dan Hivos melakukan inspeksi ke petani-petani gula. Tanah tumbuhnya pohon kelapa tidak diperkenankan terkontaminasi pupuk dan bahan-bahan kimia. Begitu juga tanaman tetangga di sekitar pohon kelapa. Sepetak tanah yang digunakan untuk budidaya kelapa mestilah memenuhi standar organik. Selain itu, bumbung bambu yang digunakan untuk nderes (mengambil) nira kelapa tidak boleh dicuci dengan detergen, melainkan cukup dengan air hangat. “Kami punya Internal Control System (ICS) yang melakukan inspeksi secara berkala. Tidak gampang membuat petani tiba-tiba harus serba bersih dan organik,” ujar Bu Tuti. Dengan standardisasi ini, petani dibiasakan untuk memproduksi gula dengan higienis. Kebersihan lingkungan terutama dapur tempat memasak gula juga dijaga.
Pak Ndut berinisiatif membuat buku tamu bagi orang yang bertandang ke kediamannya
KSU Jatirogo sejak awal memastikan kesepakatan harga beli, yang kesepakatannya diperbaharui secara berkala. Kesepakatan terbaru, harga beli dari KSU adalah Rp 11.000/kg. Dari hari ke hari, orang seperti Bu Tukijem dan Pak Ndut bisa menghasilkan rata-rata tiga kilogram gula merah. Hasil itu didapat dari 15 hingga 20 pohon kelapa. Ini artinya, pendapatan perbulan ada pada kisaran satu juta rupiah. Ini angka yang drastis jika dibandingkan dengan harga gula merah sebelum 2008. Menurut tuturan Pak Ndut dan Bu Tukijem, harga gula merah yang dibeli tengkulak pernah cuma Rp 3.500.  

Bu Tuti dan manajemen Jatirogo menjaga hubungan dengan mitra mancanegara ini, Control Union dan Hivos, melalui telepon dan berkirim pesan melalui SMS maupun surat elektroik (email). Untuk urusan pemesanan dan pengiriman, KSU Jatirogo menerima surat pemesanan (purchase order/ PO) yang berisi jumlah dan waktu tenggat pengiriman gula merah melalui email. Komunikasi antara eksportir dan manajemen juga terus terjalin melalui telepon dan SMS. Untuk memudahkan arus komunikasi ini, kantor KSU Jatirogo juga dilengkapi dengan akses internet berbasis teknologi seluler.

Kehadiran teknologi seluler memudahkan komunikasi antara petani dengan manajemen KSU Jatirogo. Manajemen bisa mengecek stok gula di ketua kelompok sewaktu-sewaktu tanpa harus keliling melewati jalan darat yang berliku-liku. Dulu, Bu Tuti mesti naik turun gunung mengunjungi satu per satu kelompok tani. Sebelum ada ponsel, Bu Tuti biasa mengunjungi sebuah lokasi berkali-kali hanya untuk persiapan sosialisasi. Ia harus memastikan banyak hal dengan kelompok petani setempat mengenai kesepakatan waktu, topik, dan program apa saja yang akan diperbincangkan. “Sekarang saya tinggal semeses atau telepon saja,” ujarnya sambil bergaya.  Ponselnya tiba-tiba bergetar. Ada sms masuk. “Nah, ini dia,” Bu Tuti lalu membaca sms itu keras-keras, “kepada Bu Tuti harap kedatangannya besok Selasa. Mau membicarakan lagi soal orderan yang 30 ton.”

Menurut Bu Tuti, meski komunikasi tatap muka masih tetap penting, namun kondisi sekarang lebih enak, tinggal pencet. Hanya dibutuhkan waktu beberapa menit untuk mengirimkan pesan ke seluruh ketua kelompok. Padahal kalau dengan motor, dibutuhkan waktu hampir satu jam dari rumah Bu Tuti dan satu setengah jam dari kantor KSU Jatirogo di Sentolo ke rumah Pak Ndut atau Bu Tukijem. Belum lagi ke puluhan  ketua kelompok lainnya. Berkat teknologi seluler, koordinasi menjadi mudah, murah, dan hemat energi.

Menggugah yang Salah Kaprah
Harian Kompas (27/12/2011) menurunkan laporan soal defisit beras dan gula di Indonesia. Salah satunya tentang angka gula rafinasi  yang hampir seimbang dengan produksi gula dalam negeri. Ironis, gula kristal pabrikan hanya bisa disubtitusi dengan gula kristal impor. Ironi ini bisa diperpanjang dengan fakta bahwa hingga kini gula merah dari nira kelapa maupun aren belum masuk kalkulasi produksi gula nasional.  Nasib gula merah di dalam negeri ditindih oleh gula kristal pabrikan dan kebijakan yang sering salah kaprah. Bukankah ironi, jika gula semut justru menjadi primadona di luar negeri?

Menyadap Nira
Tak bisa dinafikan bahwa industri gula warisan Pemerintah Kolonial Belanda, terutama di Jawa, memberikan berkah yang besar bagi pembangunan. Jalan, rel, pemukiman pegawai, listrik, irigasi sawah dan seterusnya dikerjakan untuk melayani industri gula. Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, menggambarkan bagaimana relasi Belanda-pribumi dalam pabrik gula. Paling terhormat, pribumi menduduki jabatan kasir. Itupun masih terhitung kacung. Di ladang, nyawa petani tebu adalah harga bagi keengganannya untuk melepaskan tanah.
Usaha yang dilakukan KSU Jatirogo adalah perlawanan. Pertama, mereka membuktikan bahwa produksi gula kelapa rumahan yang selama ini dikuasai dan diombang-ambing tengkulak bisa  merdeka dan jaya. Harganya kini kompetitif dengan gula kristal pabrikan. Harga gula semut juga menaikkan pamor gula merah di luar produkdi KSU yang non-organik untuk lokal Kulon Progo hingga DIY.

Kedua, produksi gula semut menjadi menjadi cerminan pabrik-pabrik gula di kota yang diprotes masyarakat sekitarnya lantaran mencemari lingkungan melalui udara dan air. Di depan rumah saya, Jombang-Jawa Timur, sungai dialiri limbah sebuah Pabrik Gula yang jaraknya hanya 3 kilometer. Di musim kemarau, baunya sangat menyengat karena air tengah surut. Serpihan karbon dari asap pabrik tak hanya mengotori halaman dan dinding sekolah, tapi juga meracuni paru-paru siswa.

Ketiga, usaha kolektif petani gula Jatirogo ini membuktikan bahwa kerja gotong royong mampu menghasilkan karya besar. Manajemen yang cukup rapi dan bantuan teknologi membuat kerja mereka efektif dan efisien. Produksi gula merah model KSU Jatirogo adalah contoh kemerdekaan dan kemandirian. Mereka menanam, mengunduh nira, membuat gula serta menjualnya dengan relatif mandiri.

Kata Pak Ndut, “Nderes itu pekerjaan sambilan yang pokok.” Pohon kelapa tidak membutuhkan pupuk macam-macam. Ia tumbuh menjulang sesukanya. Petani hanya perlu rajin nderes (menyadap) setiap hari. Itupun tidak memerlukan waktu seharian. Mereka masih punya banyak waktu untuk menanam komoditas lain, mengurus ternak, atau berdagang. Dari hasil memproduksi gula ini, Pak Ndut sangat terbantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Harga beli KSU yang stabil dan tinggi membuat Pak Ndut beserta kawan-kawan petaninya tenang. Menurutnya, harga KSU ini bukan monopoli, justru sangat membantu dan tidak menyusahkan. Ini berkebalikan dengan kondisi jual beli ijon tengkulak dengan harga yang jauh dari layak.

“Harganya cocoklah dengan kerja keras kami,” ujar Pak Ndut sembari mempersilakan lagi wedang jahe gula semut yang mulai dingin. Sebelum beranjak pulang, saya menghabiskannya. Rasanya manis di lidah, hangat di tubuh. Sejurus kemudian, pria paruh baya itu mengambil ponselnya. Ada sms dari Bu Tuti. Pak Ndut,” bunyi sms itu, “diminta supaya membuat gula rasa jahe. Ini harus kirim lagi 20 ton.Sambil pamit pulang, saya berceletuk, “untung belum dikirim lagi, ya, Pak. Saya jadi sempat icip-icip.”


*Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Karya Tulis XL Award 2011 Kategori Umum dengan tema "Peran operator dalam memajukan pendidikan dan perekonomian di daerah pinggirian kota dan pedalaman"

1 komentar:

  1. tulisan yang menarik...tp yg model begini jarang yg baca. semoga semangat terus menulis potret begini

    BalasHapus

jangan lupa dikomen ya! :)