Senin, 06 Februari 2012

Haramain: Rindu yang senantiasa


Shubuh hari ini, tiba-tiba kurasa, kucium aromanya.. kuputar ingatanku tentang kakiku yang  pernah melangkah di tengah gelapnya sepertiga malam, di bawah temaram lampu yang menjulang tinggi. Di dalam keramaian orang yang melangkah sama. Tujuan yang satu.

Madinah

Saat itu di Madinah, udara dingin sekali. Merobek pertahanan kulit. Menusuk ke dalam daging dan tulang. Orang selalu bilang, Umroh lebih mudah dari Haji. Bukan hanya soal tak harus ke Arofah, Muzdalifah, dan Jamarat, tapi juga karena suasana lebih lengang. Jama'ah relatif mudah cari penginapan yang dekat Masjid. Penginapanku berada di sebelah utara Masjid Nabawi, tepat di tikungan jalan. Hotel Movenpick yang mewah itu hanya seseberangan mata ke arah selatan. Ia selalu kulewati tiap kali ke Masjid. Menikung ke timur, sudah masuk pelataran Masjid. Tiang-tiang lampu di pelataran Masjid Nabawi tampak seperti kuncup bunga mawar. Jika matahari sudah muncul, ia merekah serupa mawar raksasa, jadi peneduh bagi tiap orang yang melangkah di bawahnya. Cahaya lampu pun padam seketika. Pelataran Masjid itu luas sekali. Orang yang berada di depan pintu masjid sana terlihat sekecil pensil. 

Di samping kiri, ada gerbang tangga menuju kamar mandi dan parkiran bawah tanah. Lantas di seberang kananku, pintu di bawah kubah empat itu selalu ramai dilalui orang. Aku masih terus ke timur, menuju pintu bertuliskan lin-Nisaa', untuk perempuan. Di depan pintu, buluku bergidik, nyaliku menciut, melihat para perempuan Arab yang besar-besar itu menjaga pintu. Mereka memeriksa barang bawaan jama'ah perempuan. Kutanyakan pada Ibu, apa yang mereka cari? Barang elektronik tak boleh dibawa masuk, jawabnya. 

Selangkah demi langkah antrian, kami tiba juga di hadapan para Azkar. Tak satu inci pun dari kulit mereka terlihat. Ada yang matanya masih terbuka, ada juga yang ditutup kain hitam transparan. Mereka mengacakadut tas kami. Ibu ketahuan bawa ponsel dan langsung disuruh keluar. Kami keluar antrian dan menata ulang isi tas, sedemikan rupa, ponsel itu tak lagi terlihat di permukaan. Kami pun lolos masuk. Padahal aku menggembol kamera pocket di saku rok. Hiruk-pikuk di sekitar pintu terus terjadi sepanjang hari. Jika ketahuan ada perempuan Indonesia yang melanggar dan tetap nyelonong masuk, Azkar pun menjulurkan tangan sambil berteriak, "Siti Rohmah.. Siti Rohmah..". Semua perempuan Indonesia punya nama seragam di sana. Tak peduli apa yang tertulis di kalung identitas yang kami kenakan atau yang termaktub secara resmi di dalam paspor. Aku menyebut mereka,Dementor. :p

Ornamen langit-langit Masjid mengesankan, berlekuk-lekuk, berbunga-bunga. Dominan warna abu-abu. Di Masjidil Haram, akan ditemui langit-langit dengan gaya serupa. Tapi di sana, warnanya lebih ramai. Kami duduk di atas sajadah massal. Tergelar panjang, berisi puluhan kotak. Masjid sudah cukup penuh meski shubuh belum tiba. Pernah kucoba mengambil foto di dalam masjid, lalu aku diingatkan oleh khadam Masjid. Seragamnya burqoh dan gamis merah. Dari pawakannya, ia jelas bukan orang Arab. Ternyata TKW asal Cilacap. Terhormat sekali menjadi pahlawan devisa sekaligus pelayan Masjid mulia. Interaksi mereka dengan jama'ah Indonesia yang lebih sering daripada TKI yang bekerja jadi PRT juga bawa keberkahan tersendiri. Mereka sasaran shodaqoh para jama'aah Indonesia.

Sejak memasuki Masjid pertama kali, aku punya tugas rutin, mengisi botol dengan air zam-zam. Air itu untuk persediaanku dan Ibu selama berjam-jam di dalam Masjid. Di sejumlah titik, berderet puluhan tempat air lengkap dengan gelasnya. Tinggal buka katupnya, air mengcur penuhi botol. Ada dua pilihan, air biasa dan air dengan suhu lebih rendah yang dilabeli mubarrod, didinginkan. Aku lebih suka air dingin, tapi Ibu tidak suka. Maka sambil menunggu isi botol penuh dengan air biasa, aku ambil gelas, meneguk air zam-zam dingin.

Aku sempat berkenalan dengan seorang perempuan Mesir bernama Sarah, kalau tak keliru. Ia seorang dosen Arsitek di Universitas Kairo. Tubuhnya ceking menjulang, matanya tegas, senyumnya tulus. Mengobrol singkat dengannya, aku jadi membayangkan perdaban keilmuan Islam di Kairo yang luar biasa. Ibu lantas berceramah tentang integrasi ilmu padaku.

Aku dan Ibu sering tiba di penginapan saat jam makan sudah lewat. Pelayan katering yang orang Madura itu tak mau melayani kami lagi. Terpaksa kami menulusuri pertokoan, mencari tempat makan yang kira-kira pas di lidah. Tak lagi tertarik makan nasi, aku memilih kios kebab. Kebab itu berisi daging ayam cacah yang sudah diolah dengan minyak samin dan berbagai rempah serta sayur. Penjual kebab, langsung saja mengisikan cacahan berbagai bahan itu ke dalam lilitan kulit tepung yang lalu diolesi saus dan mayones.

Sudah beberapa kali ke Masjid, aku belum berkesempatan ke Roudloh. Katanya, bagi perempuan, Roudloh hanya bisa dimasuki pada jam-jam tertentu. Bada dzuhur itu, terdengar kabar, akses bagi jam'aah perempuan ke Roudloh dibuka. Maka kami pun bersiap di depan sekat kayu pahatan yang memisahkan ruang jama'ah lelaki dan perempuan. Sekat itu ternyata pintu. Para perempuan memenuhi muka pintu, mengobrol, dan berdesak-desakan. Lama-lama, kami saling dorong. Di bagian depan, orang mengetuk-ngetuk pintu tak sabar, melonglong, memrotes orang di sebelah atau belakangnya yang mulai mengganggu. Kami seperti demonstran di depan gerbang DPR/MPR Senayan. 

Saat pintu dibuka, kami seperti air keluar dari sumbernya. Gelombang besar dan deras. Kami berlari mengikuti jalur labirin terbuat dari kain-kain yang diikiat antar tiang. Ternyata kami membelah masjid jatah jama'ah laki-laki. kami berlari dari bagian selatan merengsak ke utara. Di depan Roudloh, ternyata sudah ada sekelompok jama'ah perempuan, mungkin dari Iran, duduk berkumpul.

Aku dan Ibu terus bergandengan memasuki Roudloh yang sudah sesak. Roudloh terletak di antara mimbar dan kediaman Nabi. Kediaman itu abadi karena di situ juga Nabi dikebumikan. Keduanya sudah menjadi bagian dari Masjid Nabawi. Konon, doa yang dipanjatkan di Roudloh mustajabah. Maka kusampaikan segala yang jadi hajat hidup. Memohon hal-hal gaib. Karena kebaikan dunia akhirat, Ridlo dan kasih sayang Tuhan, segala itu, bagiku, gaib. Aura di sekitar Roudloh juga gaib, menentramkan.

Kami sempat berkunjung ke sejumlah tempat bersejarah, salah satunya Bukit Uhud. Di bawah bukit itu, terdapat makam
para syuhada'. Bukit ini terletak sekitar 12 km dari Madinah. Sementara, perjalanan Makkah-Madinah sekita 8 jam dengan bus. Aku terpaksa membayangkan Nabi dan kaumnya yang hijrah, berhaji, dan berdagang lewati gunung pasir dengan jarak ratusan kilometer. Tapi aku juga terkagum dengan suku Quraisy yang berjalan sejauh itu mendekat ke Madinah untuk berperang dan menang.   

Makkah

Aku, Ibu, dan Ayah sudah berihram. Kami berjalan melewati kolong jalan layang. Di beberapa malam, kutemui ada orang tua tidur beralaskan kardus di tengah jalan itu. Beberapa jama'ah meletakkan botol minuman atau bungkusan makanan di sampingnya. Lalu kami lewat di sebelah kiri Tower Zam-zam. Di pagi hari, jalanan itu penuh burung merpati abu-abu. Mereka makan di bawah lantas terbang dan hinggap di lubang-lubang gedung yang memang diperuntukkan bagi rumah mereka. 

Kami masuk melalui pintu Roqmun Wahid, Nomor Satu, Pintu Abdul Aziz. Ini adalah pintu utama yang langsung berhadapan dengan istana kerajaan. Di situ, Raja Saudi  tinggal jika berada di Makkah. Suasana di Masjidil Haram agaknya lebih leluasa daripada di Masjid Nabawi. Tidak ada sekat khusus bagi laki-laki dan perempuan. Ayah tak perlu berpisah lagi dengan Ibu dan aku. Kian ke dalam masjid, kurasa tangan yang kugenggam bergetar. Ayah di samping kiri dan Ibu di samping kanan. Ayah dan Ibu bersautan, "Nak, itu Ka'bah. itu ka'bah." kalimat itu secara ekstrinsik memang mukhotobnya padaku. Tapi sepertinya Ayah Ibu justru sedang berbicara entah dengan siapa, barangkali dengan Allah, dengan Ka'bah, atau pada semesta, betapa mereka rindu pada Ka'bah. Kami pun thowaf. Aku berada di tengah Ayah dan Ibu sebagai hijab. Aku mahrom ayah, Ibu bukan. Mereka tak bisa bersentuhan selama manasik.

Air mata terus berderai. Tubuh berdebar. Serasa ada energi besar yang terserap di sepanjang pusaran. Setelah tujuh putaran penuh, kami berhenti di Multazam. Harapan kian menjadi-jadi. Dada Sesak, terus menangis. Begitu pula orang di sekeliling kami. Usai berdoa, Ayah bertanya, "Mau cium Hajar Aswad?" Aku tak bisa bilang tidak. Ayah mengajari kami menuju hajar Aswad di tengah desakan orang, Arab maupun 'Ajm, laki-laki maupun perempuan. Kami mengantri, tapi nyaris serupa kompetisi.

Kata Ayah, kami harus terus berpegang pada pagar yang menyambungkan Multazam dan Hajar Aswad. Pagar itu berguna melindungi petugas yang jaga di atas Hajar Aswad. Ia bertugas melerai orang yang beradu dalam kompetisi mencium batu hitam, mengingatkan orang yang memasukkan kepalanya terlalu lama, pokoknya mengatur ketertiban jama'ah. Dia berada di atas kepala kami, di pojokan ka'bah, punya otoritas mengatur orang, wah jan seperti Tuhan. hehe 

Usai thowaf, lantas sa'i dan tahalluul. Aku sangat menyukai batu hijau di sisi Marwah. Tak seperti batu gurun pasir yang putih dan berkapur, batu itu seperti karang laut yang agak licin dan dingin.  Andai ketika itu ada teman dari Geologi, dia mungkin bisa menjelaskan mengapa batu itu bisa jadi begitu.

Anjuran Abah Nasrullah, di Makkah dan Madinah harus bisa khatam baca Al-Quran. Kalau haji, mungkin bisa berkali-kali khatam. Nderes itulah yang mengisi waktu kami sepanjang pekan di Makkah-Madinah. Membuat kami tahan di dalam Masjid berbekal sebotol air.

Semua itu terjadi di Rabiul Awwal tahun lalu. Sekarang sudah di penghujung Safar jelang Rabiul Awwal lagi. Rindu seperti ini bisa menjangkiti siapa saja. Tapi, buatku, ini tetap tak biasa. Rindu ziarah Makkah-Madinah terasa khusus bagi diri tiap muslim. Rindu ini privat sekalipun jutaan umat merasakan yang serupa. Aku nyaris tak mampu menahan rindu, tiap kali bersenandung, 'Allahumma yassir lana, Ya Allah, ziyaroh Makkah Madinah, Ya Allah' di ujung syi'ir mahallul qiyam. Bait itu memang tak termaktub di teks Maulid Diba' pada umumnya, baru kudapati di Pondok Krapyak.

Krapyak, suatu sabat 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)