Rabu, 15 Februari 2012

Semesta Tak Mampu Menampung Tiga Huruf Ini


Kami merindui Ibu bukan dengan bayangan masakan, melainkan hangatnya pelukan..

Pelukan Ibu kami tiada duanya di dunia ini. Sebab, Ibu memeluk dengan kasih dan doa-doa. Dalam setiap pertemuan, seperti semua orang tua, Ibu selalu berpetuah, berbagi curahan, dan terkadang mengijazahkan amalan.

Ibu sudah sakit sejak aku SD. Sakit semacam pusing yang menyerang saraf tulang belakang. Setiap hari, Ibu berperang dengan rasa sakitnya. Ibu pernah bedrest selama sesemester ketika saya SMA. Banyak jalan telah ditempuh. Syukur, berangsur-angsur keadaan Ibu membaik, meski belum sepenuhnya pulih.

Dalam sakit, Ibu masih bisa melakukan banyak hal. Di antaranya, ngurip-nguripi pondok dan madrasah tinggalan Abah. Kini, Ibu memelihara puluhan anak dhu’afa yang Ibu tanggung hidup dan pendidikannya. 

Ibu sangat mencintai dan dicintai Ayah. Ayah adalah tipe orang yang jauh dari karakter romantis. Beliau pendiam, kesehariannya ngaji dengan santri, ke madrasah, ngimami jam’ah, ngaji lagi sampai waktu tidurnya. Di antara keletihannya, Ibu terkadang mengeluhkan sakitnya. Ayah mengelus-elus Ibu sambil berdoa. Bagi Ibu, Ayah adalah lelaki yang sangat sabar. Kata Ibu, kalau bukan Ayah, barangkali Ibu sudah ‘dibuang’ sejak dulu karena sakitnya.

Saya meyakini, kebaikan Ayah Ibu menjadi salah satu penentu kebaikan-kebaikan yang menimpa kami, anak-anaknya. Melihat kemandirian Mas Im dan kecerdasan Neng Nova adalah hal yang sangat patut disyukuri. Kami menuruni banyak hal dari Ibu yang dzahir dan batin. Tapi belum ada satu pun dari kami bertiga yang mewarisi keistiqamahan Ayah.  Barangkali istiqomah memang prestasi dengan kegigihan sendiri, bukan diturunkan.

Nasi goreng buatan Ibu belum pernah menuai pujian. Tapi, dorongan Ibu yang membuat Neng menjadi jagoan mimbar dan Mas yang egaliter adalah pancaran daya tiada tara. Belum lagi, banyak santri yang berhasil mengembangkan diri dengan sentuhan Ibu. Tiap kali saya merasa rapuh, serasa hanya Ibu yang mampu menyokong saya dalam pelukannya.

Selalu ada semacam rasa gagal menulis tentang Ibu, apalagi menaati Ibu. 

Ibu, tiga huruf yang tafsirnya seluruh ruang hampa di mana semesta ini menggantung pun tidak cukup menampung.  Maka, entah apa arti sekelumit tulisan ini selain kelegaan hati yang sesaat.

Hamparan kasur, malam kamis dengan latar musik diba'an Gus Kelik     


nb: catatan tentang Ibu muncul dari pengalaman-pengalaman yang barangkali setiap orang merasakannya, tapi entah kenapa senantiasa terasa spesial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)