Sebulan ini, kehidupan saya tiba-tiba riuh dengan anak
kecil. Sejak Januari, saya menjadi tenaga pengajar di Homeschooling Kak Seto (HSKS)
Yogyakarta. Saya tidak punya latar belakang jurusan pendidikan, hanya saja
merasa passion-nya di situ, mengajar.
Kondisi di HSKS pada awalnya cukup menekan saya. Saya yang
sering menganggur diharuskan masuk lima hari dalam seminggu. Karena ada tutor
yang ambil cuti jelang ujian pendadaran, jam mengajar saya pun padat. Satu hal
yang kadang membuat saya ragu berangkat yakni seorang murid y`ng mempunyai
kecerdasan kinestetik. Sejak awal pertemuan kami, dia membuat saya capek alang
kepalang. Lari ke sana- ke sini, susah belajar, hanya mau main-main. Saya kerap
kehilangan kendali terhadapnya, akibatnya kami saling ilfil.
Suatu saat, ia minta belajar di taman kampus depan sekolah
kami. Letak sekolah kami di bilangan Seturan tepat di depan kampus YKPN
Veteran. Kami berdua memasuki gerbang kampus dengan membawa sebungkus nasi
kucing hasil beli di angkringan sebelah sekolah. Di taman itu, ada enam
mahasiswa sedang berdiskusi.
Ny, sebut saja begitu, usai menghabiskan nasi yang dibawa.
Dia melihat ke atas pohon cemara yang mengelilingi taman, “Kak, itu sarang
burung ya?” Benar, di sela-sela dahan cemara yang rimbun itu terlihat ada sarang
burung. Ny memulai pembicaraan bahwa ia ingin memelihara anak burung atau anak
ayam. Tiba-tiba ia tergerak, “Kak, kita cari telur burung di situ, yuk!” Ny
menunjuk serumpunan rumput yang masing-masing rumpun menggelembung gemuk. Saya
tidak paham itu rumput jenis apa, semacam perdu untuk tumbuhan hias. “Kak Ny,
telur burung itu adanya di atas, ga ada di bawah sini,” kataku mengelak.
Ny bersih kukuh ingin mencari telur di rumpunan rumput itu.
Dia mengambil patahan ranting, memberikan bagian yang lain padaku, lalu kami
pun mengelilingi rerumputan untuk mencari telur dengan bantuan ranting. Saya menurutinya
sambil memberi pengertian bahwa di situ tidak ada telur. Sejujurnya, saya malu
dengan sekumpulan mahasiswa YKPN, barangkali mereka pikir mau-maunya saya
menuruti imajinasi anak kecil yang probabilitasnya rendah.
Ny berteriak girang. Tak dinyana, ia berhasil menemukan
telur ayam di tengah salah satu rumpun rumput. Saya langsung membuang pandang
ke sekeliling taman, tidak ada seekor ayam pun di situ, juga tak ada kandang.
Saya masih bengong karena tak habis pikir, bisa-bisanya ada telur di situ. “Tuh
kan, Kak Bila sih ga ada percaya sama aku,” ucap Ny dengan bangga setengah
sebal. Saya menyesal lantaran tidak memercayai Ny. Tapi saya bersyukur, saya
jadi punya alasan untuk mengajaknya kembali ke sekolah. Di tengah jalan, entah
bagaimana, Ny menjatuhkan telurnya. Ia kecewa berat.
Banyak cerita di Homeschooling, setiap hari kisahnya
senantiasa berbeda. Saya kadang merasa gagal dan sebal. Tapi, kalau dipikir
dengan jernih, ini adalah tantangan untuk bisa mengambil hati satu per satu
siswa HSKS.
Awal bulan Februari ini, saya ambil cuti seminggu untuk
pulang ke rumah di Jombang. Satu-satunya yang terus saya pikirkan sebelum
pulang adalah mencari oleh-oleh untuk Nameera, keponakan saya. Sepulang dari
HSKS, saya mampir ke Gardena untuk membeli sebuah album foto yang akan saya isi
foto anggota keluarga. Khususnya, Nameera dan ayah bundanya. Agar Nameera
senantiasa merasa dekat dengan Bunda. Saya membayangkan Nameera akan memeluk
album foto itu sampai ia tertidur. Tapi, hadiah itu belum jadi saya bawa
pulang. Saya membawakan boneka robot kelinci yang bisa bunyi dan loncat.
Awalnya, Nameera pilek. Biasanya Na, begitu panggilan
kesayangannya, jago makan, apapun dilahap. Tapi sekarang, ia ogah makan, susah
tidur, dan sering menangis. Saya dan emak perawat Nameera terjaga tengah malam lantaran
tangisan Na tak dapat dibendung. Mungkin ini hal biasa bagi setiap anak balita
yang sakit. Tapi, tidak biasa bagi saya yang tidak punya adik dan belum punya
anak. Na lunglai dalam gendongan saya, badannya hangat. Na tergolong anak yang
tegar, sebab ia dan kedua orang tuanya saling mencintai dengan jarak.
Tidak Mudah Menjadi
Orang Tua
Pengalaman sebulan belakangan ini terus saja menekan saya,
ternyata menjadi orang tua itu tidak mudah. Saya lantas melayang pada
bayang-bayang bagaimana orang tua saya dulu membesarkan saya dan kedua kakak
saya hingga jadi seperti ini. Pasti bukan proses yang mudah.
Katanya, hindari kata ‘jangan’ pada anak-anak sebab kata itu
tidak efektif untuk mencegah tingkah mereka. Tapi, pada kenyataannya, itu
sangat sulit dipraktikkan. Saya harus menahan diri dan memutar otak agar tidak
berkata ‘jangan’ pada Ny. Saya belajar mengelola emosi ketika menghadapi Ny
yang jago lari dan Na yang rewel.
Tapi, dalam kondisi sehat, Na adalah anak yang cerdas dan
menyenangkan. Di usia 13 bulan, dia sudah bisa berjalan cepat dan mulai
ngomong. Na anak yang beruntung dengan kecerdasan dan kelembutan hatinya. Na
adalah anugerah bagi kami yang menyayanginya. Tidak butuh waktu lama untuk
jatuh hati pada matanya yang indah.
Mendidik Na yang cerdas, bagiku, juga tantangan. Di usia
emas, di tangan yang tepat, Na akan tumbuh luar biasa. Dia sangat mandiri, bisa
makan sendiri dan tahu bagaimana membantu orang yang memakaikannya baju. Na membantu
kami untuk mendidiknya.
Ragam anak seperti bintang yang bertebaran di langit, tak
terhitung. Punya beberapa anak, orang tua dituntut untuk memperlakukan
masing-masing anak sesuai kapasitasnya. Banyak anak gagal karena tak kuat
menanggung tuntutan orang tua yang di luar kemampuannya.
Lebih dari metode-metode mendidik, saya berkeyakinan bahwa
nasib anak dipengaruhi oleh zaman jauh sebelum ia ada. Anak yang baik adalah
buah dari amal orang tuanya yang baik jauh-jauh hari. Amal baik anak adalah
jariyah orang tua. Doa-doa orang tua merupakan kekuatan utama dalam membentuk
karakter anak. Sebelum punya anak, saya ingin mencapai suatu hal yang semoga
menjadi lantaran bagi kebaikan anak saya kelak yang bahkan belum terbayangkan
rupanya.
Tambakberas, 9 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa dikomen ya! :)