Kamis, 09 Februari 2012

Gempita Anak-anak

Sebulan ini, kehidupan saya tiba-tiba riuh dengan anak kecil. Sejak Januari, saya menjadi tenaga pengajar di Homeschooling Kak Seto (HSKS) Yogyakarta. Saya tidak punya latar belakang jurusan pendidikan, hanya saja merasa passion-nya di situ, mengajar.

Kondisi di HSKS pada awalnya cukup menekan saya. Saya yang sering menganggur diharuskan masuk lima hari dalam seminggu. Karena ada tutor yang ambil cuti jelang ujian pendadaran, jam mengajar saya pun padat. Satu hal yang kadang membuat saya ragu berangkat yakni seorang murid y`ng mempunyai kecerdasan kinestetik. Sejak awal pertemuan kami, dia membuat saya capek alang kepalang. Lari ke sana- ke sini, susah belajar, hanya mau main-main. Saya kerap kehilangan kendali terhadapnya, akibatnya kami saling ilfil.

Suatu saat, ia minta belajar di taman kampus depan sekolah kami. Letak sekolah kami di bilangan Seturan tepat di depan kampus YKPN Veteran. Kami berdua memasuki gerbang kampus dengan membawa sebungkus nasi kucing hasil beli di angkringan sebelah sekolah. Di taman itu, ada enam mahasiswa sedang berdiskusi.

Ny, sebut saja begitu, usai menghabiskan nasi yang dibawa. Dia melihat ke atas pohon cemara yang mengelilingi taman, “Kak, itu sarang burung ya?” Benar, di sela-sela dahan cemara yang rimbun itu terlihat ada sarang burung. Ny memulai pembicaraan bahwa ia ingin memelihara anak burung atau anak ayam. Tiba-tiba ia tergerak, “Kak, kita cari telur burung di situ, yuk!” Ny menunjuk serumpunan rumput yang masing-masing rumpun menggelembung gemuk. Saya tidak paham itu rumput jenis apa, semacam perdu untuk tumbuhan hias. “Kak Ny, telur burung itu adanya di atas, ga ada di bawah sini,” kataku mengelak.

Ny bersih kukuh ingin mencari telur di rumpunan rumput itu. Dia mengambil patahan ranting, memberikan bagian yang lain padaku, lalu kami pun mengelilingi rerumputan untuk mencari telur dengan bantuan ranting. Saya menurutinya sambil memberi pengertian bahwa di situ tidak ada telur. Sejujurnya, saya malu dengan sekumpulan mahasiswa YKPN, barangkali mereka pikir mau-maunya saya menuruti imajinasi anak kecil yang probabilitasnya rendah.

Ny berteriak girang. Tak dinyana, ia berhasil menemukan telur ayam di tengah salah satu rumpun rumput. Saya langsung membuang pandang ke sekeliling taman, tidak ada seekor ayam pun di situ, juga tak ada kandang. Saya masih bengong karena tak habis pikir, bisa-bisanya ada telur di situ. “Tuh kan, Kak Bila sih ga ada percaya sama aku,” ucap Ny dengan bangga setengah sebal. Saya menyesal lantaran tidak memercayai Ny. Tapi saya bersyukur, saya jadi punya alasan untuk mengajaknya kembali ke sekolah. Di tengah jalan, entah bagaimana, Ny menjatuhkan telurnya. Ia kecewa berat.

Banyak cerita di Homeschooling, setiap hari kisahnya senantiasa berbeda. Saya kadang merasa gagal dan sebal. Tapi, kalau dipikir dengan jernih, ini adalah tantangan untuk bisa mengambil hati satu per satu siswa HSKS.

Awal bulan Februari ini, saya ambil cuti seminggu untuk pulang ke rumah di Jombang. Satu-satunya yang terus saya pikirkan sebelum pulang adalah mencari oleh-oleh untuk Nameera, keponakan saya. Sepulang dari HSKS, saya mampir ke Gardena untuk membeli sebuah album foto yang akan saya isi foto anggota keluarga. Khususnya, Nameera dan ayah bundanya. Agar Nameera senantiasa merasa dekat dengan Bunda. Saya membayangkan Nameera akan memeluk album foto itu sampai ia tertidur. Tapi, hadiah itu belum jadi saya bawa pulang. Saya membawakan boneka robot kelinci yang bisa bunyi dan loncat.

Awalnya, Nameera pilek. Biasanya Na, begitu panggilan kesayangannya, jago makan, apapun dilahap. Tapi sekarang, ia ogah makan, susah tidur, dan sering menangis. Saya dan emak perawat Nameera terjaga tengah malam lantaran tangisan Na tak dapat dibendung. Mungkin ini hal biasa bagi setiap anak balita yang sakit. Tapi, tidak biasa bagi saya yang tidak punya adik dan belum punya anak. Na lunglai dalam gendongan saya, badannya hangat. Na tergolong anak yang tegar, sebab ia dan kedua orang tuanya saling mencintai dengan jarak.

Tidak Mudah Menjadi Orang Tua

Pengalaman sebulan belakangan ini terus saja menekan saya, ternyata menjadi orang tua itu tidak mudah. Saya lantas melayang pada bayang-bayang bagaimana orang tua saya dulu membesarkan saya dan kedua kakak saya hingga jadi seperti ini. Pasti bukan proses yang mudah.

Katanya, hindari kata ‘jangan’ pada anak-anak sebab kata itu tidak efektif untuk mencegah tingkah mereka. Tapi, pada kenyataannya, itu sangat sulit dipraktikkan. Saya harus menahan diri dan memutar otak agar tidak berkata ‘jangan’ pada Ny. Saya belajar mengelola emosi ketika menghadapi Ny yang jago lari dan Na yang rewel.

Tapi, dalam kondisi sehat, Na adalah anak yang cerdas dan menyenangkan. Di usia 13 bulan, dia sudah bisa berjalan cepat dan mulai ngomong. Na anak yang beruntung dengan kecerdasan dan kelembutan hatinya. Na adalah anugerah bagi kami yang menyayanginya. Tidak butuh waktu lama untuk jatuh hati pada matanya yang indah.

Mendidik Na yang cerdas, bagiku, juga tantangan. Di usia emas, di tangan yang tepat, Na akan tumbuh luar biasa. Dia sangat mandiri, bisa makan sendiri dan tahu bagaimana membantu orang yang memakaikannya baju. Na membantu kami untuk mendidiknya.

Ragam anak seperti bintang yang bertebaran di langit, tak terhitung. Punya beberapa anak, orang tua dituntut untuk memperlakukan masing-masing anak sesuai kapasitasnya. Banyak anak gagal karena tak kuat menanggung tuntutan orang tua yang di luar kemampuannya.

Lebih dari metode-metode mendidik, saya berkeyakinan bahwa nasib anak dipengaruhi oleh zaman jauh sebelum ia ada. Anak yang baik adalah buah dari amal orang tuanya yang baik jauh-jauh hari. Amal baik anak adalah jariyah orang tua. Doa-doa orang tua merupakan kekuatan utama dalam membentuk karakter anak. Sebelum punya anak, saya ingin mencapai suatu hal yang semoga menjadi lantaran bagi kebaikan anak saya kelak yang bahkan belum terbayangkan rupanya.

Tambakberas, 9 Februari 2012

 
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)