Kamis, 01 Maret 2012

Memutus Rantai Generasi TKI


            Suatu pagi ketika kelas 3 SD, saya ditinggal Mbak Umi yang mengasuh saya sejak kecil. Saya murung, tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Mbak Umi hanya lulusan SD lalu sempat belajar di sebuah pesantren di sekitar rumah saya, Jombang. Ia meninggalkan rumah kami untuk pergi jadi TKW di Arab. Kini, ia telah dipersunting seorang guru SD, mampu membeli tanah yang cukup luas, dan membiayai sekolah keponakan-keponakannya.
Tidak semua nasib TKI dan TKW senahas Ruyati yang berakhir di tiang pancung. Sebagian dari mereka juga beruntung seperti Mbak Umi, selamat dan bisa mengangkat ekonomi keluarga. Tapi fenomena ini tetap saja membuat kita gusar. Saya sering mendengar teman-teman bertanya dengan nada keluh, sampai kapan kita menjadi bangsa yang dilecehkan kemanusiannya lantaran mengirim banyak TKI ke luar negeri? Lantas pertanyaan itu berlanjut, bagaimana cara kita menghentikan generasi TKI ini?
Salah satu potret yang cukup representatif dihadirkan Lola Amaria dalam film Minggu Pagi di Victoria Park. Film ini berkisah tentang kehidupan para buruh migran di Hongkong. Lola diceritakan datang dari desa dengan latar belakang keluarga petani miskin. Persis seperti digambarkan film itu, desa merupakan lumbung calon TKI. Mereka hidup serba tidak cukup dan berpendidikan pas-pasan. Iming-iming uang merupakan jurus jitu menggerakkan pemuda-pemudi desa bekerja di luar negeri.
Persoalan pemuda menjadi kronis di desa dan mengancam kehidupan manusia secara sistemik dalam jangka panjang. Desa merupakan basis pertanian. Berkat petani di desa, Indonesia mencapai ketahanan pangan, paling tidak beras. Meskipun pada 2011, pangan kita dinyatakan defisit. Ini karena para pemuda desa tidak mau lagi pergi ke sawah. Maka siapa lagi yang akan menanam padi dan palawija? Bertani dianggap sebagai pekerjaan rendahan, tidak menghasilkan banyak uang. Petani dipandang tidak lebih terhormat daripada pedagang. Semisal ada struktur kasta dalam tata masyarakat kita, barangkali petani menduduki kelas terbawah. Pandangan yang kadung salah kaprah ini berimplikasi besar terhadap kehidupan kita sebagai bangsa.
Harian Kompas sering mengulas tentang petani-petani yang berinovasi di rubrik Sosok. Seorang teman saya asal Temanggung pernah bercerita. Usai membaca Kompas, Ibu teman saya bertanya, ke mana sarjana-sarjana pertanian kita? Orang-orang yang ditulis Kompas bukanlah sarjana pertanian. Kabar dari dunia pertanian jarang ada yang segar. Teman saya pun berceletuk, sarjana pertanian tidak mau menjadi petani. Mereka justru kerja sebagai wartawan atau teller di bank.
Hubungan pertanian dan duka pilu TKI, bagi saya, berhubungan erat. Para pemuda desa ini merasa tak punya harapan terhadap tanah persawahan. Lantas mereka membayangkan bahwa kehidupan di luar negeri akan memberikan keberuntungan. Ironisnya, baru keuntungan yang mereka duga, belum kosekuensi terburuk yang bisa saja melanda.
Setiap negara tujuan TKI memiliki sensibilitas kasus kriminal yang berbeda-beda. Di Arab Saudi, banyak TKI yang terlibat kasus pembunuhan, begitu juga di Malaysia. Di Hongkong, TKI sering terlibat kasus pencurian dan perampokan. Di Tiongkok, TKI akan dihukum mati jika kedapatan membawa atau mengedarkan narkoba. Ribuan TKI terancam hukuman di luar negeri.
Sekarang pertanyaannya, siapakah para TKI ini? Mereka pemuda, penduduk Indonesia usia produktif. Jika desa dibiarkan dalam keterbelakangan, generasi TKI ini akan terus tumbuh. Desa merupakan titik potong generasi muda untuk berhenti menjadi TKI.
Negara terang wajib membangun infrastruktur di desa, membenahi fasilitas pendidikan, dan membantu petani mengembangkan produksi pertanian. Tetapi, aktor utama lainnya yang tak kalah penting adalah pemuda. Dari fenomena TKI dan mundurnya dunia tani menunjukkan bahwa pemuda kita kehilangan orientasi pedesaan.
Menerawang masa depan pemuda Indonesia terkadang hanya indah ketika yang datang adalah bayangan tentang pemuda yang menciptakan robot, mobil, dan menang olimpiade internasional. Tidak terasa, kita serasa bergerak maju tapi ternyata memenggal langkah sebelumnya yang semestinya terus berkelanjutan. Kita menikmati kecanggihan robot modern, tapi melupakan bahwa teknologi serupa bisa bermanfaat jika diaplikasikan dalam pertanian. Pertanian dianggap dan lantas menjadi benar-benar usang. Pantas saja pemuda tidak ada yang mau pergi ke sawah. Maunya hanya makan tapi tidak bisa menanam.  Lalu menjadi TKI menjadi jalan pintas menuju kesejahteraan.
Rantai itu kembali ke titik semula.

Menerawang Desa
Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) merilis program Puat Layanan Internet kecamatan (PLIK) 2011 lalu. Pemerintah mengirim piranti komputer dan internet ke sejumlah kawasan rural. Harapannya, keberadaan internet di desa dapat membantu warga desa untuk mengakses informasi lebih cepat. Tetapi persoalannya, sebelum orang menggunakan internet, ia mesti terlebih dulu lulus dua tahap literasi. Pertama, literasi huruf atau melek huruf. Kedua, literasi media massa atau melek media. Sementara, taraf pendidikan masyarakat desa belum sepenuhnya mentas dari literasi tahap pertama.
Bagaimanapun, saya tetap mengepresiasi kebijakan Kominfo ini. Masyarakat desa yang sudah usai dua tahap literasi dapat terus maju ke tahap literasi media online. Mereka dapat menjadi agen perubahan di desa. Nah, kira-kira, komponen masyarakat seperti apa yang bisa diharapkan menjadi agen perubahan? Tidak lain, pemuda.
Suatu kali, saya bertemu dengan seorang petani di Kulon Progo, Yogyakarta. Namanya Hendrastuti, ia mengetuai jaringan petani se-kabupaten Kulon Progo. Saat kami tengah memperbincangkan kehidupan petani, ia sempat mengkritik peranan sarjana yang ada di desa. “Mbok jadi sarjana itu yang tegas dan berinisiatif,” ujarnya saat itu. Ia mengeluhkan bahwa ada sejumlah orang yang mengenyam pendidikan tinggi di desanya, tapi ternyata belum mampu berkontribusi seperti yang diharapkan.
Persoalannya, sistem pendidikan Indonesia melulu berorientasi industri. Seorang sarjana bisa gagap ketika kembali ke desa sebab ketika mahasiswa, ia dijejali dengan paradigma menjadi angkatan kerja di kota. Banyak juga pemuda desa yang sudah pintar, tetapi memilih hidup di Jakarta, menjadi orang kota yang sesekali mengirimkan sumbangan untuk membangun masjid di kampung. Desa ditinggalkan dan hanya menanggung sisa.
Tunggu dulu, ternyata kampus masih menyisakan seberkas harapan...
Program kampus seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), misalnya, dapat membangkitkan orientasi pedesaan mahasiswa. Sejujurnya, setelah KKN, sensibilitas saya terhadap kehidupan desa tergugah. Saya belajar banyak hal dari kehidupan petani. Penduduk desa juga mendapat banyak transfer informasi dari mahasiswa baik di bidang pendidikan, teknologi, dan keorganisasian. Di desa saya mengabdi, Lembupurwo, Kec.Mirit, Kab.Kebumen, ada sejumlah penduduk yang bekerja menjadi TKI. Mereka menitipkan anak mereka kepada orang tua untuk dirawat. Sementara saudara-saudaranya yang lain masih bertahan mengelola sawah dan kebun. Arah pendidikan remaja di Lembupurwo bisa dikategorikan menjadi dua, sekolah kejuruan dan pesantren.
Beberapa hari sebelum saya pergi dari Lembupurwo, jaringan PLIK tengah dibangun. Dalam tahap awal ini, perangkat desa yang diajari untuk memanfaatkan PLIK. Saya membayangkan, andai program ini berjalan lekas, sepuluh tahun ke depan para petani di Lembupurwo akan lebih cepat berinovasi berkat akses informasi yang didapat melalui PLIK. Mereka dapat berjejaring dan bertukar informasi dengan petani-petani di daerah lain.
Internet barangkali menjadi barang kesekian yang dilirik oleh petani. Ini persoalan pintar-pintarnya pemerintah desa dan dinas pertanian memanfaatkan teknologi terbaru itu untuk mengembangkan potensi yang ada di desa. Internet adalah alat yang tingkat kemanfaatannya bergantung pada yang menggunakan. 
Kehadiran teknologi akan menjadi lebih maksimal jika dibersamai dengan pemuda yang terdidik di kota menyempatkan diri untuk turun ke desa.  Tujuannya untuk mengajak pemuda desa maju selangkah demi selangkah. Akumulasi langkah ini akan menjadi lantaran kemajuan pemuda desa. Di antaranya, pemuda desa diarahkan untuk mempelajari banyak ilmu yang bertebaran di internet melalui jaringan PLIK. 
Lebih jauh, jika pemuda desa yang kuliah di kota senantiasa menyimpan orientasi pedesaan di dalam sukmanya, maka tidak akan ada kegagapan ketika ia harus pulang ke desa. Desa lebih membutuhkan pemuda ketimbang dunia industri. Di desa pangkal kehidupan dimulai, tempat padi terhampar dan kebijkasanaan terhadap alam dilestarikan. Jika desa senantiasa menjadi lokasi yang permai bagi penduduknya, desa menjanjikan kesejahteraan, angka pemuda yang berangkat ke kota atau ke luar negeri bisa ditekan.
Asumsi bahwa banyaknya buruh migran ke luar negeri disebabkan minimnya lapangan kerja di dalam negeri memang benar adanya. Tapi, fakta pun bisa diubah menjadi kebenaran yang lain. Fakta menarik terjadi di Purbalingga, Jawa Tengah. Hadirnya investor yang membangun pabrik rambut palsu dan bulu mata di Purbalingga terbukti mengerem jumlah TKI dari kabupaten tersebut. Ini berarti jika ada pekerjaan yang dianggap layak dan dekat dengan kampung akan menjadi pilihan utama ketimbang pergi ke luar negeri.
Tapi, saya berkeyakinan bahwa dengan memperkuat dunia pertanian berarti memotong rantai TKI sejak dari pangkal. Orang-orang kita bekerja di tanahnya sendiri, bukan menjadi buruh bangsa lain. Harga diri bangsa akan senantiasa gagah sebab ketahanan pangan kita terjaga. Masa depan Indonesia bertumpu di desa, di pundak para pemuda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)