Suatu
pagi ketika kelas 3 SD, saya ditinggal Mbak Umi yang mengasuh saya sejak kecil.
Saya murung, tidak ingin beranjak dari tempat tidur. Mbak Umi hanya lulusan SD
lalu sempat belajar di sebuah pesantren di sekitar rumah saya, Jombang. Ia
meninggalkan rumah kami untuk pergi jadi TKW di Arab. Kini, ia telah
dipersunting seorang guru SD, mampu membeli tanah yang cukup luas, dan
membiayai sekolah keponakan-keponakannya.
Tidak
semua nasib TKI dan TKW senahas Ruyati yang berakhir di tiang pancung. Sebagian
dari mereka juga beruntung seperti Mbak Umi, selamat dan bisa mengangkat
ekonomi keluarga. Tapi fenomena ini tetap saja membuat kita gusar. Saya sering
mendengar teman-teman bertanya dengan nada keluh, sampai kapan kita menjadi
bangsa yang dilecehkan kemanusiannya lantaran mengirim banyak TKI ke luar
negeri? Lantas pertanyaan itu berlanjut, bagaimana cara kita menghentikan
generasi TKI ini?
Salah
satu potret yang cukup representatif dihadirkan Lola Amaria dalam film Minggu
Pagi di Victoria Park. Film ini berkisah tentang kehidupan para buruh migran di
Hongkong. Lola diceritakan datang dari desa dengan latar belakang keluarga
petani miskin. Persis seperti digambarkan film itu, desa merupakan lumbung
calon TKI. Mereka hidup serba tidak cukup dan berpendidikan pas-pasan.
Iming-iming uang merupakan jurus jitu menggerakkan pemuda-pemudi desa bekerja
di luar negeri.
Persoalan
pemuda menjadi kronis di desa dan mengancam kehidupan manusia secara sistemik
dalam jangka panjang. Desa merupakan basis pertanian. Berkat petani di desa,
Indonesia mencapai ketahanan pangan, paling tidak beras. Meskipun pada 2011,
pangan kita dinyatakan defisit. Ini karena para pemuda desa tidak mau lagi pergi
ke sawah. Maka siapa lagi yang akan menanam padi dan palawija? Bertani dianggap
sebagai pekerjaan rendahan, tidak menghasilkan banyak uang. Petani dipandang
tidak lebih terhormat daripada pedagang. Semisal ada struktur kasta dalam tata
masyarakat kita, barangkali petani menduduki kelas terbawah. Pandangan yang
kadung salah kaprah ini berimplikasi besar terhadap kehidupan kita sebagai
bangsa.
Harian
Kompas sering mengulas tentang petani-petani yang berinovasi di rubrik Sosok.
Seorang teman saya asal Temanggung pernah bercerita. Usai membaca Kompas, Ibu
teman saya bertanya, ke mana sarjana-sarjana pertanian kita? Orang-orang yang
ditulis Kompas bukanlah sarjana pertanian. Kabar dari dunia pertanian jarang
ada yang segar. Teman saya pun berceletuk, sarjana pertanian tidak mau menjadi
petani. Mereka justru kerja sebagai wartawan atau teller di bank.
Hubungan
pertanian dan duka pilu TKI, bagi saya, berhubungan erat. Para pemuda desa ini
merasa tak punya harapan terhadap tanah persawahan. Lantas mereka membayangkan
bahwa kehidupan di luar negeri akan memberikan keberuntungan. Ironisnya, baru
keuntungan yang mereka duga, belum kosekuensi terburuk yang bisa saja melanda.
Setiap
negara tujuan TKI memiliki sensibilitas kasus kriminal yang berbeda-beda. Di
Arab Saudi, banyak TKI yang terlibat kasus pembunuhan, begitu juga di Malaysia.
Di Hongkong, TKI sering terlibat kasus pencurian dan perampokan. Di Tiongkok,
TKI akan dihukum mati jika kedapatan membawa atau mengedarkan narkoba. Ribuan
TKI terancam hukuman di luar negeri.
Sekarang
pertanyaannya, siapakah para TKI ini? Mereka pemuda, penduduk Indonesia usia
produktif. Jika desa dibiarkan dalam keterbelakangan, generasi TKI ini akan
terus tumbuh. Desa merupakan titik potong generasi muda untuk berhenti menjadi
TKI.
Negara
terang wajib membangun infrastruktur di desa, membenahi fasilitas pendidikan,
dan membantu petani mengembangkan produksi pertanian. Tetapi, aktor utama
lainnya yang tak kalah penting adalah pemuda. Dari fenomena TKI dan mundurnya
dunia tani menunjukkan bahwa pemuda kita kehilangan orientasi pedesaan.
Menerawang
masa depan pemuda Indonesia terkadang hanya indah ketika yang datang adalah
bayangan tentang pemuda yang menciptakan robot, mobil, dan menang olimpiade
internasional. Tidak terasa, kita serasa bergerak maju tapi ternyata memenggal
langkah sebelumnya yang semestinya terus berkelanjutan. Kita menikmati
kecanggihan robot modern, tapi melupakan bahwa teknologi serupa bisa bermanfaat
jika diaplikasikan dalam pertanian. Pertanian dianggap dan lantas menjadi
benar-benar usang. Pantas saja pemuda tidak ada yang mau pergi ke sawah. Maunya
hanya makan tapi tidak bisa menanam. Lalu
menjadi TKI menjadi jalan pintas menuju kesejahteraan.
Menerawang Desa
Kementrian
Komunikasi dan Informasi (Kominfo) merilis program Puat Layanan Internet
kecamatan (PLIK) 2011 lalu. Pemerintah mengirim piranti komputer dan internet
ke sejumlah kawasan rural. Harapannya, keberadaan internet di desa dapat
membantu warga desa untuk mengakses informasi lebih cepat. Tetapi persoalannya,
sebelum orang menggunakan internet, ia mesti terlebih dulu lulus dua tahap
literasi. Pertama, literasi huruf atau melek huruf. Kedua, literasi media massa
atau melek media. Sementara, taraf pendidikan masyarakat desa belum sepenuhnya
mentas dari literasi tahap pertama.
Bagaimanapun,
saya tetap mengepresiasi kebijakan Kominfo ini. Masyarakat desa yang sudah usai
dua tahap literasi dapat terus maju ke tahap literasi media online. Mereka
dapat menjadi agen perubahan di desa. Nah, kira-kira, komponen masyarakat
seperti apa yang bisa diharapkan menjadi agen perubahan? Tidak lain, pemuda.
Suatu
kali, saya bertemu dengan seorang petani di Kulon Progo, Yogyakarta. Namanya
Hendrastuti, ia mengetuai jaringan petani se-kabupaten Kulon Progo. Saat kami
tengah memperbincangkan kehidupan petani, ia sempat mengkritik peranan sarjana
yang ada di desa. “Mbok jadi sarjana itu yang tegas dan berinisiatif,” ujarnya
saat itu. Ia mengeluhkan bahwa ada sejumlah orang yang mengenyam pendidikan
tinggi di desanya, tapi ternyata belum mampu berkontribusi seperti yang
diharapkan.
Persoalannya,
sistem pendidikan Indonesia melulu berorientasi industri. Seorang sarjana bisa
gagap ketika kembali ke desa sebab ketika mahasiswa, ia dijejali dengan
paradigma menjadi angkatan kerja di kota. Banyak juga pemuda desa yang sudah
pintar, tetapi memilih hidup di Jakarta, menjadi orang kota yang sesekali
mengirimkan sumbangan untuk membangun masjid di kampung. Desa ditinggalkan dan
hanya menanggung sisa.
Tunggu
dulu, ternyata kampus masih menyisakan seberkas harapan...
Program
kampus seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), misalnya, dapat membangkitkan
orientasi pedesaan mahasiswa. Sejujurnya, setelah KKN, sensibilitas saya
terhadap kehidupan desa tergugah. Saya belajar banyak hal dari kehidupan
petani. Penduduk desa juga mendapat banyak transfer informasi dari mahasiswa
baik di bidang pendidikan, teknologi, dan keorganisasian. Di desa saya mengabdi,
Lembupurwo, Kec.Mirit, Kab.Kebumen, ada sejumlah penduduk yang bekerja menjadi
TKI. Mereka menitipkan anak mereka kepada orang tua untuk dirawat. Sementara
saudara-saudaranya yang lain masih bertahan mengelola sawah dan kebun. Arah
pendidikan remaja di Lembupurwo bisa dikategorikan menjadi dua, sekolah
kejuruan dan pesantren.
Beberapa
hari sebelum saya pergi dari Lembupurwo, jaringan PLIK tengah dibangun. Dalam tahap
awal ini, perangkat desa yang diajari untuk memanfaatkan PLIK. Saya
membayangkan, andai program ini berjalan lekas, sepuluh tahun ke depan para
petani di Lembupurwo akan lebih cepat berinovasi berkat akses informasi yang
didapat melalui PLIK. Mereka dapat berjejaring dan bertukar informasi dengan
petani-petani di daerah lain.
Internet
barangkali menjadi barang kesekian yang dilirik oleh petani. Ini persoalan
pintar-pintarnya pemerintah desa dan dinas pertanian memanfaatkan teknologi
terbaru itu untuk mengembangkan potensi yang ada di desa. Internet adalah alat
yang tingkat kemanfaatannya bergantung pada yang menggunakan.
Kehadiran
teknologi akan menjadi lebih maksimal jika dibersamai dengan pemuda yang
terdidik di kota menyempatkan diri untuk turun ke desa. Tujuannya untuk mengajak pemuda desa maju
selangkah demi selangkah. Akumulasi langkah ini akan menjadi lantaran kemajuan
pemuda desa. Di antaranya, pemuda desa diarahkan untuk mempelajari banyak ilmu
yang bertebaran di internet melalui jaringan PLIK.
Lebih jauh, jika pemuda desa yang kuliah di kota senantiasa menyimpan orientasi pedesaan di dalam sukmanya, maka tidak akan ada kegagapan ketika ia harus pulang ke desa. Desa lebih membutuhkan pemuda ketimbang dunia industri. Di desa pangkal kehidupan dimulai, tempat padi terhampar dan kebijkasanaan terhadap alam dilestarikan. Jika desa senantiasa menjadi lokasi yang permai bagi penduduknya, desa menjanjikan kesejahteraan, angka pemuda yang berangkat ke kota atau ke luar negeri bisa ditekan.
Lebih jauh, jika pemuda desa yang kuliah di kota senantiasa menyimpan orientasi pedesaan di dalam sukmanya, maka tidak akan ada kegagapan ketika ia harus pulang ke desa. Desa lebih membutuhkan pemuda ketimbang dunia industri. Di desa pangkal kehidupan dimulai, tempat padi terhampar dan kebijkasanaan terhadap alam dilestarikan. Jika desa senantiasa menjadi lokasi yang permai bagi penduduknya, desa menjanjikan kesejahteraan, angka pemuda yang berangkat ke kota atau ke luar negeri bisa ditekan.
Asumsi
bahwa banyaknya buruh migran ke luar negeri disebabkan minimnya lapangan kerja
di dalam negeri memang benar adanya. Tapi, fakta pun bisa diubah menjadi kebenaran yang lain. Fakta menarik terjadi di Purbalingga, Jawa
Tengah. Hadirnya investor yang membangun pabrik rambut palsu dan bulu mata di
Purbalingga terbukti mengerem jumlah TKI dari kabupaten tersebut. Ini berarti
jika ada pekerjaan yang dianggap layak dan dekat dengan kampung akan menjadi
pilihan utama ketimbang pergi ke luar negeri.
Tapi,
saya berkeyakinan bahwa dengan memperkuat dunia pertanian berarti memotong
rantai TKI sejak dari pangkal. Orang-orang kita bekerja di tanahnya sendiri,
bukan menjadi buruh bangsa lain. Harga diri bangsa akan senantiasa gagah sebab
ketahanan pangan kita terjaga. Masa depan Indonesia bertumpu di desa, di pundak
para pemuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa dikomen ya! :)