Tulisan ini dimuat di kolom Jawa Pos For Her pada 29 Januari 2011 lalu dengan judul 'Mencetak Ilmuwan Perempuan'.
Berbicara
tentang peradaban sering kali kita merujuk pada sistem kehidupan
manusia. Sistem ini didukung oleh berbagai mekanisme yang memudahkan
kehidupan. Arkeolog mengklasifikasikan masa manusia purba berdasarkan
teknologi dan sistem sosial yang berlaku. Peradaban kuno besar, seperti
Mesir Kuno, Babilonia, Cina dan lainnya menjadi tersohor karena
warisannya pada dunia. Mesir, misalnya, meninggalkan sistem penanggalan,
sementara Babilonia membangun pondasi ilmu sejarah.
Tamplak
gamblang bahwa kunci peradaban berada di tangan ilmu pengetahuan.
Tetapi, hingga kini belum banyak perempuan yang memberikan sumbangsih
besar bagi kunci peradaban ini. Gersangnya semesta ilmu pengetahuan dari
ilmuwan perempuan menunjukkan bahwa ada katup peradaban yang belum
dibuka.
Perkembangan ilmu pengetahuan modern, khususnya
sejak awal abad 20, antara lain dapat diukur melalui pencapaian
penghargaan Nobel. Sejak 1901, penghargaan ini telah dianugerahkan
kepada 817 ilmuwan dan 23 lembaga. Dari jumlah itu, hanya ada 40 ilmuwan
perempuan yang pernah meraih Nobel. Salah satu diantaranya, Marie
Curie, seorang ilmuwan berkebangsaan Polandia. Ia mendapatkan nobel
pertama pada 1903 di bidang fisika secara kolektif bersama suaminya
Pierre Curie dan dua rekannya. Delapan tahun kemudian, ia mendapatkan
Nobel untuk kedua kalinya bersama née Sklodowska di bidang kimia. Tidak
hanya itu, putrinya, Frédéric Joliot, juga pernah menyabet penghargaan
Nobel.
Keluarga Curies telah memberi teladan pada dunia
tentang sebuah peradaban keilmuan yang sukses dibangun sejak dalam
tataran keluarga. Dalam keluarga, ibu memegang kendali dalam pedagogi
anak. Karena itu, perempuan berhak mendapat pendidikan tinggi,
pertama-tama, untuk kepentingan terbangunnya peradaban kecil di
rumahnya. Di luar kehidupan domestik, realita kekinian juga menunjukkan
bahwa perempuan yang bekerja di sektor publik cenderung untuk menjadi
tenaga pendidik di berbagai lembaga formal. Tetapi, lebih dari itu,
perempuan bisa mencapai pucuk pohon peradaban, yakni menjadi ilmuwan.
Tidak
banyak ilmuwan perempuan yang masyhur berkat karyanya. Di berbagai
bidang ilmu, sains maupun sosial-humaniora, deretan nama ilmuwan
didominasi oleh laki-laki. Ini mengindikasikan ada ketidakmerataan
kesempatan untuk menjadi ilmuwan, khususnya dalam proses pendidikan.
Sejatinya tidak ada perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki
dari segi kapasitas intelektual. Propababilitas perempuan untuk menjadi
ilmuwan sebenarnya sangat besar.
Sedikitnya jumlah ilmuwan
perempuan bisa jadi sangat dipengaruhi oleh stereotipe masyarakat untuk
membatasi gerak perempuan di ruang publik. Perempuan memang harus
pintar, tapi tidak sekadar untuk mendidik anak. Melainkan juga untuk
tampil memberi kontribusi di bidang ilmu pengetahuan guna membangun
peradaban. Perempuan bisa menjadi ilmuwan dengan prakondisi dibebaskan
dari berbagai stereotipe yang dapat membatasi pilihannya.
Sejumlah
negara Barat telah mulai menyadari ini. Antara lain, Inggris dan
Amerika telah membuat program khusus untuk mencetak ilmuwan perempuan,
mengundang para perempuan dari dalam maupun luar negeri. Jika saja angka
ilmuwan perempuan dan karyanya dapat meningkat, itu berarti semakin
banyak katup kemanfaatan yang dibuka bagi peradaban manusia.
Untuk
sampai pada impian itu, tentu butuh energi besar. Pertama, mengubah
budaya yang melahirkan stereotipe tidak menguntungkan bagi perempuan.
Kedua, memperbaiki sistem pendidikan yang berkapasitas melahirkan
ilmuwan. Kalau dibayangkan, banyak sekali pekerjaan yang harus
dilakukan. Tampak nyaris mustahil ini dilakukan di tengah keterpurukan
intelektual dan moral di Indonesia. Tapi kata Gus Dur, ‘mengapa tidak
bermimpi besar, tidak berangan-angan jauh’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa dikomen ya! :)