Langgas
kemerdekaan ini harus kumulai dari mana
sebab, gabuk rasanya
hanya ada aku yang di dunia ini
semestaku sendiri
pernah dahulu aku menjadi juita
kejelitaanku dirayakan ribuan sambungan nafas
dan longlongan yang pekik
tiap itu berulang,
hatiku terkampai pada ketersinggahan masa
dan ia lekas bergerak meninggalkanku yang tak menyegera
memerasnya dari paru-paru
nafasku selalu tersengkal dalam ketiadaan cahaya
sejurus aku keluar dari kenihilan,
segalanya segera menjelma liyan
celah di antara ruang dunia
membuat ketersendirian menjadi mudah
aku menyelinap pada periuk
yang membebaskanku dari dahaga sejarah
merdeka itu melangkah tanpa sisik melik
menumpuk akal pada imaji yang tak ada keliru
dan liyan yang menggusar kemerdekaan
Krapyak, menutup April 2012
Aku kembali mengejamu
Merapali lagi jejak-jejak lama
aku terpaku pada senyummu
yang mulia dan ceria
Mee, cintaku tak pernah selesai dilucuti
Suatu saat kamu mesti mengerti
Pada setiap yang rumit
Ada jalan untuk mengurai
Sepasang mata indahmu, nanti
Menyaksikan gembala meniup seruling
Dengan nada ngilu
Di bumi lainnya,
Halilintar disoraki
Sebab ia menghantarkan air
Pada kebun-ladang yang menghampar
tatap yang lurus,
Mulailah, Mee, dengan pertanyaan
Kerudungmu, Meer, betulkanlah
Berkerudung sejak dalam pikiran
Dengan ilmu dan kebijaksanaan
Lantaran, Meera..
Pada masamu,
Dunia adalah hutan antah berantah
Air sukar, banjir berita keruh
Manusia berubah menjadi merah
Menelanjangi takwa dari imannya
Kembalilah, di antaranya
Pada puisi, mengantarkanmu
pada masa kedamaian masih bisa dijumpai
temuilah, ia tersibak
dalam hati yang halus dan selamat
GP, Desember 2011
Musikalisasi Puisi
Pada garis-garis pantai yang basah
Ombak menyerah
Semampunya pasir ia jabat
Ditarik sebutir-sebutir
Lima kaki dari garis itu
Tak peduli terik
Debur ombak membalut suaramu
Seluruhnya terdengar seperti puisi
Segala nada yang mampu dicipta alam
Ombak, angin, dan pasir
Menyertaimu, serupa musikalisasi puisi
Romantisme ini tak selalu butuh senja
Juga tatapan cakrawala
Seperti perahu nelayan
Ia tetap perahu meski tanpa air
Berlayar atau diam di atas pasir
Maka kini,
Jika aku kembali menapaki garis pantai
Membelah rimbunan cemara laut
Dan menyeberang laguna
Keindahannya tetap niscaya
Tapi alunannya tak dapat lagi jadi musik
Sebab tak ada kamu, wahai puisi
Pantai Lembupurwo, 28 Sya'ban