Sejak kecil, kita sudah menyerap dogma agama. Tuhan itu bernama. Kita
diajari cara menyembahNya. Kita dperkenalkan ada sederet macam agama yang
diakui di Indonesia. Dalam isi dogma itu, kisah surga dan neraka tak pernah
alpa. Orang yang percaya pada Tuhan akan diselamatkan dari siksa neraka dan
masuk ke dalam surga. Ketentuan surga atau neraka dinilai dari raport amal yang
dikerjakan oleh Malaikat. Bagi saya ketika itu, surga dan neraka adalah pembeda
yang paling jelas antara yang benar dan yang salah. Tapi lantas dengan tubuh
yang masih mungil, saya bertanya pada Ibu, kalau surga dan neraka masih
dibuktikan di akhirat kelak, bagaimana kalau agama yang kita peluk ini salah?
Dalam kondisi kami misal, bagaimana kalau
Islam ternyata tidak mengantarkan kita pada surga? Ibu pun menjawab
dengan bijak, 'itu mengapa kita perlu iman'.
Jawaban itu tidak bisa membuat saya puas. Bagi saya, beriman kepada
Tuhan dengan nama tertentu atau memeluk agama tertentu rasanya serupa judi.
Tapi kegelisahan itu lekas-lekas saya tepis. Saya masih takut dengan neraka.
Maka saya teruskan iman saya dengan menerima segala dogma yang ditanamakan.
Pertanyaan itu lantas terbesit lagi ketika mulai duduk di bangku kuliah.
Entah apa yang membuat saya kembali gelisah. Bagi saya, kebenaran Tuhan dan
agama mana yang paling benar memang tak bisa ditentukan di dunia. Mau seperti
apa kita saling mengkafirkan, tak ada yang punya bukti empiris atas kebenaran
keberadaan Tuhan. Alam mungkin ayat (tanda) keberadaan Tuhan yang paling
gamblang. Tapi mekanisme alam bekerja masih terus diperdebatkan.
Semasa MI, saya suka nonton VCD Harun Yahya. Salah satu serinya ingin
mematahkan Teori Darwin. Darwin, para Darwinis, beserta Darwinismenya disebut
sebagai penganut materialisme. Mereka meniadakan peran Tuhan dalam mekanisme
kerja alam semesta. Alam mengorganisasi dirinya sendiri. Materialisme ini
mengukur hanya yang empiris, hanya yang tampak, hanya yang wujud kasat mata.
Mungkin bagi mereka, Tuhan tak empiris, Tuhan tiada.
Stepehen Hawking baru-baru ini juga menerbitkan buku 'Grand Design',
Rancang Agung. Saya belum baca bukunya. Dari sejumlah review yang saya baca,
Hawking beragumen bahwa dalam dunia ini terdapat sejumlah pola kerja. Pola-pola
ini terwujud dalam kehidupan, tapi hanya sedikit pola saja yang cenderung mendominasi. Darwin dan Hawking sama-sama
ilmuwan dan filsuf. Mereka mencari kebenaran melalui bukti-bukti empiris. Sah
saja apa yang mereka kemukakan. Itu mesti dinilai, diverifikasi atau difalsifikasi
dengan bukti empiris juga. Membantah bukti empiris dengan dogma agama tentu
tidak adil. Keduanya berada di dua ranah berbeda. Ilmu pengetahuan ada di ranah
empiris, sementara agama ada di ranah transenden. Dalam beberapa hal,
agama dan ilmu pengetahuan saling bertemu. Tapi, perdebatan untuk membuktikan
Tuhan, bagi saya, ini tidak akan bisa tuntas. Atau memang tidak untuk
dituntaskan. Tidak boleh tuntas.
Ketidaktuntasan itu diselamatkan oleh
iman yang nurani memilihnya di bawah petunjuk Tuhan yang tidak kunjung tuntas
diperdebatkan. Saya mesti mengingat bahwa sekuat apapun iman, tetap saja kita
ini lemah yang hanya Tuhan sendiri nanti yang mampu menuntaskan pengetahuan tentang
dirinya di hadapan kita. Kata Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela. Tuhan yang
beri petunjuk, jangan sesatkan manusia lain dengan melabelinya sesat. Tahan ilmu turun derajat sebagai alat kekuasaan, memperalat nama Tuhan.
Seperti sufi, jalan paling nyaman adalah menarik diri dari hiruk pikuk perdebatan tentang Tuhan. Padahal kita hanya sedang memperdebatkan pikiran kita sendiri tentang Tuhan. Tuhan adalah di luar segala pemikiran kita tentangNya. Bertemu Tuhan dalam sunyi, berkemanusiaan dalam riuh damai. Semampunya.
Sekarang hanya ada aku dan kamu bersama menuntaskan hidup kemanusiaan sebaik-baiknya. Di sisa zaman, bantah tebakan malaikat yang sebelumnya terlanjur benar, manusia suka menumpahkan darah.
Duh, urip mung mampir ngeblog..
Tulisan ini:
Dimulai 6/2/11
Ditutup 3/9/12