Kamis, 14 Maret 2013

Pelangi di tengah mendung

Biru, kita mengenal tanpa saling bertanya nama. Tiba-tiba saja aku tahu namamu, kamu tahu namaku. Kita bersama dalam banyak waktu. Tetapi kebanyakan hanya untuk diam dan saling melirik. Sampai aku meninggalkanmu dan bertemu kembali tiga tahun kemudian. Kita terlibat dalam obrolan-obrolan panjang sampai tagihan telpon rumahku nunggak. Kamu terlampau asyik dijadikan teman ngobrol. Jerawatmu banyak sekali waktu itu. Kita tengah dalam masa puber dan aku terheran kamu tak kunjung jatuh cinta. Padahal aku sedang dalam warna merah jambu. Kamu terlalu cuek. Aku di kelilingi oleh gadis-gadis muda yang langsung tersenyum rekah ketika namamu disebut. Aku merasa beruntung menjadi orang yang memegang kuncimu. Tak ada satupun dari mereka yang berhasil menaklukkanmu. Sementara obrolan-obrolan kita terus berlanjut.

Biru, aku sudah lupa hari ketika ayahmu pergi meninggalkanmu, ibumu, dan keempat saudaramu. Aku heran dari mana tenaga yang kamu punya untuk mendapat prestasi begitu banyak. Kamu dan semua pialamu, biarlah untuk orang lain yang mengenalmu di permukaan. Bagiku, kamu orang yang tak memiliki kepedihan. Sampai hari ini kamu cemerlang bagai bintang, kamu dengan dirimu sendiri yang nyaman. Aku merindukan obrolan panjang kita, Biru. Tapi aku ada begitu jauh, lahir dan batin. Aku kuatir kamu menemukanku lebih kelam dari aku yang kamu kenal sepanjang hidupmu.

***

Kamu hadir, Oren, ketika aku meninggalkan Biru selama tiga tahun. Kamu dan orang tuamu berbaik hati menolongku di tengah kehidupan dan lingkungan yang baru. Kamu dan rumahmu mengajarkanku untuk berbahasa lebih halus, untuk lebih nyantri lebih daripada aku di rumah sendiri. Orang bilang wajah kita mirip. Hitam manis dan seyum yang cerah. Aku lebih tinggi darimu beberapa senti. Aku pantas jadi anak ibumu, kamu pantas jadi anak ibuku. Ibuku dan ibumu pantas jadi saudara. Ternyata mereka teman lama dulunya, kita mewarisi pertemanan itu, bahkan lebih erat dan dekat.

Beberapa hari sebelum aku dekat lagi dengan Biru, di suatu pagi aku mengantarmu dan adikmu ke rumahmu. Kamu baru saja pulang dari ziarah ke makam kiai. Pagi itu, aku berziarah ke rumahmu. Beberapa meter dari rumah kamu bertanya, ‘Kenapa ada bendera putih, dik?’ Kurang dari dua menit kemudian, kamu temukan jawabannya. Kita baru saja menginjak remaja, aku belum tahu caranya berempati. Kepedihan menyelimutimu sejak saat itu. Tanpa dinyana, ayahmu tiada. Aku masih ingat, adikmu yang paling kecil masih bayi, tak tahu apa-apa tentang kehilangan. Setelah itu, aku juga kehilanganmu. Kamu memilih pergi mencari tempat yang lebih nyaman untuk meneruskan hidup dan menghilangkan lara. Kupanggil kamu oren, gadis sendu yang memancarkan cahaya senja dari dalam hati.

***

Pertemanan kita ini sangat aneh. Kamu menyebut dirimu Kuning yang sebenarnya kurang pas untuk kepribadianmu. Kamu tangguh, berani, dan punya determinasi tinggi. Semua itu terlihat dari sikapmu, cara berbicaramu, dan warna lukisan-lukisanmu.  Ahya, pertemanan kita aneh karena sebenarnya kita tak saling setia-setia amat. Aku pelit sekali padamu, bisa dihitung jari berapa kali dalam tiga tahun kita deskmate kuberi kamu contekan. Kamu pun lebih memilih nyontek teman depan atau belakang bangku kita. Kamu tahu, aku akan mengelak untuk memberimu jawaban.

Aku, kamu, dan biru bagaikan tiga serangkai tak terpisahkan. Hanya saja Biru yang paling cantik di antara kita (LOL!). Dialog antara kita sering kukisahkan pada orang-orang. Kehadiranmu benar-benar berpengaruh untukku. Mungkin juga aku bagimu. Melaluimu, Tuhan menunjukkan skenario terumit yang pernah kusaksikan. Aku hanya penonton di sebagian lika-liku kehidupanmu yang dahsyat, Kuning. Sepekan lalu kamu mengirimiku pesan pendek, ‘baru saja kubaca sms2mu. Ketika mama ga ada. juga ketika aku hijrah ke Islam, kalo ga salah kamu langsung menelponku dan menangis. Terima kasih untuk selalu ada untukku, say’. Kamu salah, Kuning! Momentum yang paling berarti buatku adalah ketika aku menghadiri pernikahanmu yang segalanya kamu siapkan sendiri. Kamu meninggalkan segala kepedihan di belakang. Menentang arus kehendak manusia di sekelilingmu untuk teguh di atas pilihanmu. Aku benar-benar menjadi penoton hari itu. Tapi yang paling berat buatku adalah saat kamu terbaring patah tulang dan penuh luka jahit di rumah sakit dan aku justru pergi. Aku tak sanggup menerima perlakuan seperti teman-teman lain, aku tak siap jika kamu juga tak mengenaliku. Tapi seperti biasa, kamu pulih dengan cepat. Kata Tuhan, ana ‘inda dzonni ‘abdi bi. Tuhan pasti sangat menyayangimu karena kamu senantiasa berbaik sangka pada-Nya.

***

Hai, Merah, gadis aneh dan terpanik sedunia.

Kita bertemu untuk berdebat. Apa yang kukatakan, akan segera kamu jungkir balikkan. Apa yang kamu utarakan, kuputar semena-mena ke selatan. Tapi karena seni obrolan yang seperti ini, kita ketagihan untuk terus saling bertemu. Selain juga karena aku butuh kamar kosmu ketika jam kuliah kosong. Aku Hijau dan kamu Merah. Kita menyimpan warna darah itu di balik pembuluh vena.

Ketika aku tengah diam-diaman dengan Putih, ibumu mengabari adikmu menyerah pada leukimianya. Sementara di pulau hitam, kamu bersemangat mencari minyak berwarna merah untuk obat. Aku menjemputmu di bandara bersama Putih. Kita makan malam dan kamu bercerita banyak hal tentang pulau hitam. Lantas kuantar kamu pulang ke selatan. Aku tak pernah melihatmu begitu kehilangan daya selain malam itu. Mungkin kamu merasa dikhianati olehku dan seluruh penghuni rumahmu. Kamu tak diberi kesempatan untuk melihat adikmu terakhir kalinya. Kamu dibiarkan berkelana di pulau hitam sampai jadwal yang telah ditentukan. Tak ada satu pun dari kami mengganggu jadwalmu. Sampai malam itu, konsekuensinya kami harus mendengar lagi longlongan yang menyayat setelah sembilan hari dia dikebumikan. Esoknya aku mengantarmu berziarah. Kamu tumpahkan minyak merah yang kamu dapatkan dengan susah payah. Dia sudah sembuh, Merah...

Seperti Kuning, kamu meninggalkan duka dan kepedihan di belakang. Aku tak pernah melihat merahmu begitu menyala seperti sekarang. Setiap hari aku menyaksikan kemajuanmu yang nyaris membuatku iri. Terus bergerak, Merah, menghidupi cita-citamu agar ia merekah menjadi realitas.

***

Kamu adalah ilmuwan yang memformulasikan kepedihan menjadi kehalusan budi. Kisahmu dan kisahku tak bisa ditulis karena ia belum selesai dipertarungkan dalam dunia ide. Sebagian scene sudah kupigura. Kita tengah melengkapinya bersama-sama. Kamu, tempat kisah-kisahku selalu merasa mendapat rumahnya. Mereka tak boleh jadi gelandangan.

Putihmu membiaskan warna-warni pelangi.