Rabu, 22 Mei 2013

Menolak Penganugerahan SBY




‘A crime commited in the name of religion is the greatest crime againts religion’ adalah slogan Appeal of Conscience Foundation tertera dalam banner situsnya www.appealofconscience.org. Yayasan yang berkedudukan di New York ini akan memberikan World Statesman Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir bulan ini. SBY dianggap berkontribusi besar terhadap resolusi konflik sipil dan agama di Indonesia.

Sebelumnya Perdana Menteri Kanada Stephen Harper (2012) dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy (2007) juga telah menerima penghargaan ini. Lembaga ini didirikan oleh seorang Rabbi bernama Arthur Schneier pada 1965 yang bergerak dalam isu toleransi antaragama. ACF rutin memberikan penghargaan kepada para negarawan dengan isu kebebasan beragama.

Apakah SBY layak menerima penghargaan ini? Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (SOBAT KBB) termasuk GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Syiah, dan Ahmadiyah menolak penghargaan ini. Sebagai pemimpin negara, SBY jelas-jelas tidak mampu menciptakan perdamaian. Laporan Human Right Watch 2012 yang juga berbasis di New York pun menyatakan Indonesia gagal menjamin hak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan beragama.

Wajah Intoleransi

Keputusan ACF ini jelas menyakitkan masyarakat Indonesia terutama kelompok minoritas yang telah mendapat perlakuan tidak adil dari negara. Kita belum lupa penyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Tasikmalaya Minggu (5/5). Penyerangan ini merusak rumah warga dan masjid. Serangan yang terjadi dini hari ini disaksikan langsung oleh aparat polisi. Mereka hanya menahan warga Ahamadiyah agar tidak terjadi bentrokan. Kejadian seperti ini berkali-kali terjadi. Polisi terkesan melakukan pembiaran. Pelaku penyerangan ratusan orang yang dijebloskan hanya segelintir. Negara ada, tapi tidak melakukan apa-apa.

Jawa Barat merupakan wilayah yang tingkat intoleransinya tinggi. Gubernur Ahmad Heryawan mengatasi ini justru dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan pelarangan penyebaran ajaran yang salah. Pergub ini semakin memberikan legitimasi kepada kelompok tidak bertanggung jawab untuk melakukan intimidasi terhadap kelompok minoritas.

Sampai hari ini, korban Syiah Sampang masih hidup dalam ketakutan. Warga antiSyiah menuntut pengusiran warga Syiah dan menolak pemulangan korban ke rumahnya masing-masing. Tuntutan ini disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Sampang. Konflik horizontal seperti yang terjadi di Sampang membutuhkan penyelesaian oleh negara. Negara memegang peranan penting untuk memproduksi kebijakan. Jika kebijakan ini menyalahi hak asasi manusia, berarti negara melakukan pelanggaran HAM. Sebab pelanggaran HAM hanya dijatuhkan kepada negara, bukan kelompok atau individu.

Masih banyak kasus intoleransi yang belum terselesaikan, justru jumlahnya terus bertambah. Negara jelas melanggar Pasal 29 ayat 2 UUD 45 yang menyatakan negara menjamin kebebasan warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Belum lagi sejumlah produk hukum seperti SKB 3 Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah juga bertentangan dengan UUD. SKB 3 Menteri dianggap win win solution karena menyeru pada Ahmadiyah agar tidak memperluas gerakan dan nonAhmadiyah agar tidak melakukan kekerasan. Namun dalam hal ini, negara ingin membenarkan kepercayaan yang dianggap salah, berarti negara melakukan pemaksaan.

SBY tidak layak

Wajah intoleransi Indonesia sepenuhnya ada di pundak SBY. Melalui akun twitternya @SBYudhoyono, SBY menginstruksikan untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat mengenai Ahmadiyah dan cegah kekerasan. “Konflik antar umat beragama terjadi lagi di Tasikmalaya dan Bekasi. Kepala Daerah, Kepolisian & Pemuka Agama mesti lakukan sesuatu. *SBY*”, tulisnya.

Lantas di mana peran SBY yang dianggap menegakkan kebebasan beragama? Pembelaan terhadap kaum minoritas selama ini gencar dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil. Kelompok ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia untuk mengawal kelompok minoritas menghadapi penyerang juga advokasi terhadap ketidakadilan negara.

Forum-forum dialog antaragama di Indonesia yang semakin marak belakangan ini juga digalakkan oleh kelompok sipil, bukan negara. Dalam rentang 2012-2013 ini saya menemukan banyak sekali forum interfaith yang digagas oleh anak-anak muda di Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat, Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, dan lainnya. Para pemuda ini tengah semangat menyebarkan nilai toleransi. Toleransi membuat kita kuat beriman dan tidak perlu terancam dengan keimanan orang lain.

Jika ACF memahami betul kondisi Indonesia, pengahargaan ini mestinya digagalkan. Toh percuma mendesak SBY agar menolak penghargaan itu. SBY bukan Dita Indah Sari yang menolak Rebook Human Right Award atau sejumlah sastrawan yang menolak dan mengembalikan Bakrie Award. SBY juga menerima Knight Grand Cross in the Order of the Bath dari Ratu Inggris tahun lalu. Kini penghargaan itu digoyang wibawanya oleh pembukaan kantor Papua Merdeka di Oxford.

Slogan ACF bagus sekali, saya setuju. Tindak kriminal yang dilakukan atas nama agama adalah tindakan kriminal yang paling besar terhadap agama. Namun itu bertentangan dengan fakta di Indonesia dan penganugerahan dari ACF. SBY harus berani menolak dengan hormat dan penuh kesadaran atau semakin menyakiti rakyatnya sendiri.

Nabilah Munsyarihah
Mahasiswa FISIPOL UGM dan pegiat Jaringan GUSDURian. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

1 komentar:

jangan lupa dikomen ya! :)