‘A crime commited in the name of religion is the
greatest crime againts religion’
adalah slogan Appeal of Conscience Foundation tertera dalam banner situsnya
www.appealofconscience.org. Yayasan yang berkedudukan di New York ini akan
memberikan World Statesman Award
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhir bulan ini. SBY dianggap
berkontribusi besar terhadap resolusi konflik sipil dan agama di Indonesia.
Sebelumnya Perdana
Menteri Kanada Stephen Harper (2012) dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy
(2007) juga telah menerima penghargaan ini. Lembaga ini didirikan oleh seorang
Rabbi bernama Arthur Schneier pada 1965 yang bergerak dalam isu toleransi
antaragama. ACF rutin memberikan penghargaan kepada para negarawan dengan isu
kebebasan beragama.
Apakah SBY layak menerima penghargaan ini? Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (SOBAT KBB) termasuk GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Syiah, dan Ahmadiyah menolak penghargaan ini. Sebagai pemimpin negara, SBY jelas-jelas tidak mampu menciptakan perdamaian. Laporan Human Right Watch 2012 yang juga berbasis di New York pun menyatakan Indonesia gagal menjamin hak asasi manusia terutama dalam hal kebebasan beragama.
Wajah Intoleransi
Keputusan ACF ini jelas
menyakitkan masyarakat Indonesia terutama kelompok minoritas yang telah
mendapat perlakuan tidak adil dari negara. Kita belum lupa penyerangan terhadap
warga Ahmadiyah di Tasikmalaya Minggu (5/5). Penyerangan ini merusak rumah
warga dan masjid. Serangan yang terjadi dini hari ini disaksikan langsung oleh
aparat polisi. Mereka hanya menahan warga Ahamadiyah agar tidak terjadi
bentrokan. Kejadian seperti ini berkali-kali terjadi. Polisi terkesan melakukan
pembiaran. Pelaku penyerangan ratusan orang yang dijebloskan hanya segelintir.
Negara ada, tapi tidak melakukan apa-apa.
Jawa Barat merupakan
wilayah yang tingkat intoleransinya tinggi. Gubernur Ahmad Heryawan mengatasi
ini justru dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2011 yang
menyatakan pelarangan penyebaran ajaran yang salah. Pergub ini semakin
memberikan legitimasi kepada kelompok tidak bertanggung jawab untuk melakukan
intimidasi terhadap kelompok minoritas.
Sampai hari ini, korban Syiah Sampang masih hidup dalam ketakutan. Warga antiSyiah menuntut pengusiran warga Syiah dan menolak pemulangan korban ke rumahnya masing-masing. Tuntutan ini disampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Sampang. Konflik horizontal seperti yang terjadi di Sampang membutuhkan penyelesaian oleh negara. Negara memegang peranan penting untuk memproduksi kebijakan. Jika kebijakan ini menyalahi hak asasi manusia, berarti negara melakukan pelanggaran HAM. Sebab pelanggaran HAM hanya dijatuhkan kepada negara, bukan kelompok atau individu.
Masih banyak kasus
intoleransi yang belum terselesaikan, justru jumlahnya terus bertambah. Negara
jelas melanggar Pasal 29 ayat 2 UUD 45 yang menyatakan negara menjamin
kebebasan warga negara untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Belum lagi
sejumlah produk hukum seperti SKB 3 Menteri tentang pelarangan Ahmadiyah juga
bertentangan dengan UUD. SKB 3 Menteri dianggap win win solution karena menyeru pada Ahmadiyah agar tidak
memperluas gerakan dan nonAhmadiyah agar tidak melakukan kekerasan. Namun dalam
hal ini, negara ingin membenarkan kepercayaan yang dianggap salah, berarti
negara melakukan pemaksaan.
SBY tidak layak
Wajah intoleransi
Indonesia sepenuhnya ada di pundak SBY. Melalui akun twitternya @SBYudhoyono,
SBY menginstruksikan untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat mengenai
Ahmadiyah dan cegah kekerasan. “Konflik antar umat beragama terjadi lagi di
Tasikmalaya dan Bekasi. Kepala Daerah, Kepolisian & Pemuka Agama mesti
lakukan sesuatu. *SBY*”, tulisnya.
Lantas di mana peran SBY yang dianggap menegakkan kebebasan beragama? Pembelaan terhadap kaum minoritas selama ini gencar dilakukan oleh kelompok-kelompok sipil. Kelompok ini tersebar di seluruh penjuru Indonesia untuk mengawal kelompok minoritas menghadapi penyerang juga advokasi terhadap ketidakadilan negara.
Forum-forum dialog
antaragama di Indonesia yang semakin marak belakangan ini juga digalakkan oleh
kelompok sipil, bukan negara. Dalam rentang 2012-2013 ini saya menemukan banyak
sekali forum interfaith yang digagas
oleh anak-anak muda di Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat,
Jakarta, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, dan lainnya. Para pemuda ini
tengah semangat menyebarkan nilai toleransi. Toleransi membuat kita kuat
beriman dan tidak perlu terancam dengan keimanan orang lain.
Jika ACF memahami betul
kondisi Indonesia, pengahargaan ini mestinya digagalkan. Toh percuma mendesak
SBY agar menolak penghargaan itu. SBY bukan Dita Indah Sari yang menolak Rebook
Human Right Award atau sejumlah sastrawan yang menolak dan mengembalikan Bakrie
Award. SBY juga menerima Knight Grand
Cross in the Order of the Bath dari Ratu Inggris tahun lalu. Kini
penghargaan itu digoyang wibawanya oleh pembukaan kantor Papua Merdeka di
Oxford.
Slogan ACF bagus sekali,
saya setuju. Tindak kriminal yang dilakukan atas nama agama adalah tindakan
kriminal yang paling besar terhadap agama. Namun itu bertentangan dengan fakta
di Indonesia dan penganugerahan dari ACF. SBY harus berani menolak dengan
hormat dan penuh kesadaran atau semakin menyakiti rakyatnya sendiri.
Nabilah Munsyarihah
Mahasiswa FISIPOL UGM dan pegiat Jaringan GUSDURian. Tulisan ini merupakan pendapat
pribadi.
yang jelas tolak SBY sebagai presiden. #eh
BalasHapus