Imajinasi tentang alien
yang tersebar di film-film itu sungguh liar. Liar dalam makna tak ada pola yang
benar-benar sama dalam menggambarkannya. Mulai dari film seperti Men in Black
dan banyak film kartun yang menawarkan imajinasi alien berkulit hijau, bertelinga
panjang, dan bermata bola, semacam Picollo di seri kartun Dragon Ball. Semua
orang boleh mengarang mumpung belum ketemu faktanya.
Berbeda dengan film
Hollywood, alien dalam film PK tidak memiliki hasrat untuk menguasai bumi.
Berbeda juga dengan film Hritik Roushan Koi Mil Gaya yang bau science
fiction. Meneliti dan mengeksplorasi iya, tapi tidak kolonialis. PK (dibaca
pikei) adalah sebutan bagi alien tak bernama yang diperankan oleh Amir Khan. PK
adalah alien yang tersesat, sebab kalung yang berfungsi sebagai alat komunikasi
dijambret oleh orang lokal dalam meint-menit pertama kedatangannya di bumi di
sebuah gurun di India. Kebetulan saja, alien ini mendarat di belahan bumi yang
dihuni ras Kaukasoid yang punya ciri sama dengannya.
Dari peristiwa kejambretan
itu, kisah PK dimulai. Perilaku PK aneh, itu sebabnya ia dipanggil PK yang
artinya mabuk. Tiap kali ia bertanya dan berinteraksi dengan masyarakat, orang
selalu menuduhnya mabuk. Di kepalanya, ia punya banyak pertanyaan yang tak bisa
dijawab karena batasan etis dan perilakunya menyalahi adat. Pokoknya, ia
membuat orang sebal sekaligus kewalahan. Ada satu adegan dengan khas nyanyi dan
joget India, PK berusaha memegang tangan orang-orang, khususnya perempuan. Di
planetnya, koloni PK tak berbahasa. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan
tangan. PK ini punya kemampuan mengetahui pengalaman dan pikiran lawan
bicaranya dengan menyentuh tangan. Persis seperti Aro dalam saga Twilight. PK
akhirnya bisa bicara bahasa manusia (Hindi) dengan menyerap pengetahuan dari
seorang pekerja prostitusi selama enam jam.
Kisah PK selanjutnya
adalah pengalaman dia yang berliku untuk mencari alat komunikasi. Ia bertemu
dengan gadis modern yang patah hati bernama Jaggu dan membuat peperangan dengan
tokoh Hindu Terkemuka, Tapaswi. Upaya Jaggu dan PK dalam mengkritisi agama itu
yang membuat film ini berbeda. Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktik
kejumudan dalam agama dan juga cinta beda agama-bangsa antara Jaggu dan
Saarfaraz dikemas dengan menggemaskan.
Yang paling quotable dari
film ini, PK bilang, “Tuhan yang menciptakan kita semua, kita percaya padaNya.
Dan tuhan yang kau ciptakan, kembaran tuhan itu, musnahkanlah.”
Dari Toleransi ke
Problem Struktural
Tulisan ini tidak
bermaksud memberikan spoiler tengang film PK. Anda bisa tonton sendiri filmnya.
Banyak orang menganggap film ini bagus karena keberanian dan kreatifitasnya
dalam menyampaikan isu tentang Tuhan dan agama.
PK turun ke bumi sebagai
bayi yang telanjang. Telanjang dalam arti sesungguhnya dan kiasan. Ia turun
dari pesawat tanpa busana juga tanpa pengetahuan mengenai dunia. Saat ia
kebingungan mencari alat komunikasinya yang dicuri, PK bertanya pada
orang-orang bagaimana cara menemukannya. Semua orang menjawab hanya Tuhan yang
tahu. Lantas ia mulai mencari Tuhan untuk meminta alat komunikasinya.
Tapi PK bukan bayi, ia
adalah lelaki dewasa. Ketidaktahuannya tentang dunia dan perilakunya yang
dianggap nyeleneh tidak bisa dimaklumi. Berbeda dengan cara kita memaklumi anak
kecil yang berbuat kesalahan, kita seperti tengah menjalankan sabda Tuhan,
“biarkan saja, anak-anak kecil itu memang tidak tahu.” PK adalah lelaki dewasa
secara fisik, tetapi ia lah bayi yang baru lahir terhadap peradaban bumi. PK
mendekati Tuhan dengan tujuan pragmatis, menemukan remot kontrolnya. Tapi
ketaatannya melebih siapa pun yang mengaku beragam di dunia ini. Karena dia
menjalani ritual semua agama yang ia temui. Bagi PK, remot kontrol lebih
berharga daripada surga dan segala balasan dari ketundukannya kepada Tuhan. Dia
tak punya urusan dengan surga dan neraka.
Petualangan PK juga
mengantarkan penonton pada perenungan kembali tentang taqlid buta. Tapaswi
adalah simbol dari kejumudan beragama. Banyak orang mencari jawaban dari
persoalan kehidupannya dengan bertanya pada pemuka agama. Seolah seluruh
jawaban pemuka agama adalah kebenaran. Padahal setiap jawaban manusia
mengandung potensi kebenaran sekaligus kesalahan. Bagi orang-orang yang
beragama dengan fanatik, agama adalah yang dikatakan pemuka agamanya, seolah
kita benar-benar sampai pada Tuhan. Kita tidak cukup memberi ruang untuk
ketidaktahuan kita yang lebih luas dari pengetahuan kita tentang Tuhan. Kita
tidak cukup punya keberanian untuk mengajukan kritik dalam beragama dan
institusi sosial keagamaan.
Tapaswi ini punya
duplikat di Indonesia. Ialah para ustadz seleb di televisi yang apabila
ditanyai oleh umatnya selalu punya jawaban pasti. Televisi menyuguhi agama
sebagai komoditas dan menjauhkan penontonnya dari orang-orang alim yang mengaji
dengan lebih tekun dan memiliki kerendahan hati lebih dalam. Padahal
orang-orang alim ini kalau di Jawa, tidak kurang-kurang jumlahnya. Meski
demikian, meski kita punya ulama panutan, tidak semua hal dan persoalan
kehidupan ini disandarkan padanya atau diterima bulat-bulat. Utamanya soal
pilihan politik.
Kita dihadapkan pada
realitas bahwa ada kecenderungan dari sebagian masyarakat yang maunya tahu
agama secara instan. Sebagian dari mereka terjebak dalam konservatisme sempit,
sebab mereka mendalami syariat dan mengabaikan akhlak. Memusuhi toleransi
seperti memerangi syetan. Sementara ada juga yang mengutamakan akhlak terhadap
sesama, tetapi menggampangkan
mengamalkan syariat. Tidak sedikit pula yang bisa beres dua-duanya.
Identitas agama yang
mengental menjadi komunalisme adalah senjata makan tuan. Setiap agama
mengajarkan umatnya untuk bersatu, kadang-kadang persatuan itu diletakkan dalam
logika oposisi biner, yaitu untuk menghadapi liyan. Liyan adalah kelompok agama
lain yang dipandang sebagai lawan. Jika saya berbeda dengan Anda, tidak berarti
kita saling melawan. Kita bisa berbeda dalam persoalan akidah, tapi banyak hal
yang bisa ditertawakan dan dikerjakan bersama. Saya melakukan itu dengan
teman-teman nonmuslim dan juga teman Ahmadiyah. Teman saya yang Ahmadi itu
sepertinya banyak yang diakui sebagai teman curhat yang ancur sekaligus
menyenangkan.
Orang tak perlu beda
agama untuk jadi lawan. Sedari kecil saya melihat konflik dalam keluarga besar
yang hidup bertetangga. Yang membuat mereka saling terusik adalah soal
kepentingan yang tak dibicarakan baik-baik yang semakin lama diawetkan sebagai
prasangka. Setiap yang liyan adalah lawan, tak peduli lahir dari rahim siapa.
Film, novel, cerpen, dan
bahan kampanye mengenai perdamaian memang penting. Setiap warga dunia ini
diajari untuk mencintai damai dan intoleran terhadap kekerasan dan
diskriminasi. Tapi kita tak bisa berhenti di situ. Akar dari konflik adalah
persoalan yang lebih struktural. Berkali-kali kita menyangkal konflik yang
terjadi di Ambon bahkan di Palestina adalah konflik agama. Kalau sudah
dimengerti demikian, agama bisa dijadikan sebagai pendekatan semata bukan
tujuan. Jika konflik itu bukan berdasar agama, maka ada hal lain yang harus
diungkap. Sentimen agama, suku, dan bangsa biasanya dijadikan bahan bakar
konflik yang berawal dari ketidakadilan ekonomi dan ketiadaan negara di tengah
warga negaranya.
Saya tidak cukup percaya
bahwa perbedaan agama dan bangsa bisa membuat orang membenci. Ada hal lain yang
membuat orang saling benci dan lantas keburukan itu ditempelkan pada identitasnya.
Tenaga untuk menciptakan perdamaian dunia sebaiknya dikonsentrasikan untuk
mengatasi persoalan-persoalan struktural dengan tidak menafikan konteks tentang
perang identitas. Agar orang tak lagi salah sambung untuk menyelesaikan
persoalan hidupnya. Tidak tesasar pada perjalanan spiritualitas yang berdampak
pada ketidakramahan terhadap sesama manusia.
Kegagalan manusia dalam
menemukan kehidupan yang damai lahir batin tidak hanya dipengaruhi oleh
kemampuannya dalam ber-qona’ah atau
self-acceptance, melainkan juga struktur di sekitarnya yang memengaruhi kondisi
dapur, rekening, pendidikan anak, harga pupuk, upah kerja, dan ketidakmampuan
untuk menjangkau kebutuhan pokok hidup. Yang juga disebut PK, agama dari tuhan
ciptaan manusia itu menyukai orang kaya dan mengabaikan orang miskin.
PK mengantarkan kita pada
setengah jawaban dari persoalan. Sisanya kita harus melanjutkannya sendiri
dengan petualangan yang mungkin lebih membingungkan daripada PK alami. Karena
kita tidak seperti PK yang bisa pergi dari bumi.
PS: Dulu waktu saya
kecil, saya diberitahu kalau nomor telepon Allah itu 24434 :D
Keren mbak, analisisnya! :D
BalasHapus