Kamis, 12 Februari 2015

PK: Alien yang Menentang Tuhan Bikinan Manusia



Imajinasi tentang alien yang tersebar di film-film itu sungguh liar. Liar dalam makna tak ada pola yang benar-benar sama dalam menggambarkannya. Mulai dari film seperti Men in Black dan banyak film kartun yang menawarkan imajinasi alien berkulit hijau, bertelinga panjang, dan bermata bola, semacam Picollo di seri kartun Dragon Ball. Semua orang boleh mengarang mumpung belum ketemu faktanya.

Berbeda dengan film Hollywood, alien dalam film PK tidak memiliki hasrat untuk menguasai bumi. Berbeda juga dengan film Hritik Roushan Koi Mil Gaya yang bau science fiction. Meneliti dan mengeksplorasi iya, tapi tidak kolonialis. PK (dibaca pikei) adalah sebutan bagi alien tak bernama yang diperankan oleh Amir Khan. PK adalah alien yang tersesat, sebab kalung yang berfungsi sebagai alat komunikasi dijambret oleh orang lokal dalam meint-menit pertama kedatangannya di bumi di sebuah gurun di India. Kebetulan saja, alien ini mendarat di belahan bumi yang dihuni ras Kaukasoid yang punya ciri sama dengannya.

Dari peristiwa kejambretan itu, kisah PK dimulai. Perilaku PK aneh, itu sebabnya ia dipanggil PK yang artinya mabuk. Tiap kali ia bertanya dan berinteraksi dengan masyarakat, orang selalu menuduhnya mabuk. Di kepalanya, ia punya banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab karena batasan etis dan perilakunya menyalahi adat. Pokoknya, ia membuat orang sebal sekaligus kewalahan. Ada satu adegan dengan khas nyanyi dan joget India, PK berusaha memegang tangan orang-orang, khususnya perempuan. Di planetnya, koloni PK tak berbahasa. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan tangan. PK ini punya kemampuan mengetahui pengalaman dan pikiran lawan bicaranya dengan menyentuh tangan. Persis seperti Aro dalam saga Twilight. PK akhirnya bisa bicara bahasa manusia (Hindi) dengan menyerap pengetahuan dari seorang pekerja prostitusi selama enam jam.
Kisah PK selanjutnya adalah pengalaman dia yang berliku untuk mencari alat komunikasi. Ia bertemu dengan gadis modern yang patah hati bernama Jaggu dan membuat peperangan dengan tokoh Hindu Terkemuka, Tapaswi. Upaya Jaggu dan PK dalam mengkritisi agama itu yang membuat film ini berbeda. Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktik kejumudan dalam agama dan juga cinta beda agama-bangsa antara Jaggu dan Saarfaraz dikemas dengan menggemaskan.

Yang paling quotable dari film ini, PK bilang, “Tuhan yang menciptakan kita semua, kita percaya padaNya. Dan tuhan yang kau ciptakan, kembaran tuhan itu, musnahkanlah.”

Dari Toleransi ke Problem Struktural

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan spoiler tengang film PK. Anda bisa tonton sendiri filmnya. Banyak orang menganggap film ini bagus karena keberanian dan kreatifitasnya dalam menyampaikan isu tentang Tuhan dan agama.

PK turun ke bumi sebagai bayi yang telanjang. Telanjang dalam arti sesungguhnya dan kiasan. Ia turun dari pesawat tanpa busana juga tanpa pengetahuan mengenai dunia. Saat ia kebingungan mencari alat komunikasinya yang dicuri, PK bertanya pada orang-orang bagaimana cara menemukannya. Semua orang menjawab hanya Tuhan yang tahu. Lantas ia mulai mencari Tuhan untuk meminta alat komunikasinya.

Tapi PK bukan bayi, ia adalah lelaki dewasa. Ketidaktahuannya tentang dunia dan perilakunya yang dianggap nyeleneh tidak bisa dimaklumi. Berbeda dengan cara kita memaklumi anak kecil yang berbuat kesalahan, kita seperti tengah menjalankan sabda Tuhan, “biarkan saja, anak-anak kecil itu memang tidak tahu.” PK adalah lelaki dewasa secara fisik, tetapi ia lah bayi yang baru lahir terhadap peradaban bumi. PK mendekati Tuhan dengan tujuan pragmatis, menemukan remot kontrolnya. Tapi ketaatannya melebih siapa pun yang mengaku beragam di dunia ini. Karena dia menjalani ritual semua agama yang ia temui. Bagi PK, remot kontrol lebih berharga daripada surga dan segala balasan dari ketundukannya kepada Tuhan. Dia tak punya urusan dengan surga dan neraka.
Petualangan PK juga mengantarkan penonton pada perenungan kembali tentang taqlid buta. Tapaswi adalah simbol dari kejumudan beragama. Banyak orang mencari jawaban dari persoalan kehidupannya dengan bertanya pada pemuka agama. Seolah seluruh jawaban pemuka agama adalah kebenaran. Padahal setiap jawaban manusia mengandung potensi kebenaran sekaligus kesalahan. Bagi orang-orang yang beragama dengan fanatik, agama adalah yang dikatakan pemuka agamanya, seolah kita benar-benar sampai pada Tuhan. Kita tidak cukup memberi ruang untuk ketidaktahuan kita yang lebih luas dari pengetahuan kita tentang Tuhan. Kita tidak cukup punya keberanian untuk mengajukan kritik dalam beragama dan institusi sosial keagamaan.

Tapaswi ini punya duplikat di Indonesia. Ialah para ustadz seleb di televisi yang apabila ditanyai oleh umatnya selalu punya jawaban pasti. Televisi menyuguhi agama sebagai komoditas dan menjauhkan penontonnya dari orang-orang alim yang mengaji dengan lebih tekun dan memiliki kerendahan hati lebih dalam. Padahal orang-orang alim ini kalau di Jawa, tidak kurang-kurang jumlahnya. Meski demikian, meski kita punya ulama panutan, tidak semua hal dan persoalan kehidupan ini disandarkan padanya atau diterima bulat-bulat. Utamanya soal pilihan politik.

Kita dihadapkan pada realitas bahwa ada kecenderungan dari sebagian masyarakat yang maunya tahu agama secara instan. Sebagian dari mereka terjebak dalam konservatisme sempit, sebab mereka mendalami syariat dan mengabaikan akhlak. Memusuhi toleransi seperti memerangi syetan. Sementara ada juga yang mengutamakan akhlak terhadap sesama, tetapi menggampangkan  mengamalkan syariat. Tidak sedikit pula yang bisa beres dua-duanya.

Identitas agama yang mengental menjadi komunalisme adalah senjata makan tuan. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk bersatu, kadang-kadang persatuan itu diletakkan dalam logika oposisi biner, yaitu untuk menghadapi liyan. Liyan adalah kelompok agama lain yang dipandang sebagai lawan. Jika saya berbeda dengan Anda, tidak berarti kita saling melawan. Kita bisa berbeda dalam persoalan akidah, tapi banyak hal yang bisa ditertawakan dan dikerjakan bersama. Saya melakukan itu dengan teman-teman nonmuslim dan juga teman Ahmadiyah. Teman saya yang Ahmadi itu sepertinya banyak yang diakui sebagai teman curhat yang ancur sekaligus menyenangkan.

Orang tak perlu beda agama untuk jadi lawan. Sedari kecil saya melihat konflik dalam keluarga besar yang hidup bertetangga. Yang membuat mereka saling terusik adalah soal kepentingan yang tak dibicarakan baik-baik yang semakin lama diawetkan sebagai prasangka. Setiap yang liyan adalah lawan, tak peduli lahir dari rahim siapa.
Film, novel, cerpen, dan bahan kampanye mengenai perdamaian memang penting. Setiap warga dunia ini diajari untuk mencintai damai dan intoleran terhadap kekerasan dan diskriminasi. Tapi kita tak bisa berhenti di situ. Akar dari konflik adalah persoalan yang lebih struktural. Berkali-kali kita menyangkal konflik yang terjadi di Ambon bahkan di Palestina adalah konflik agama. Kalau sudah dimengerti demikian, agama bisa dijadikan sebagai pendekatan semata bukan tujuan. Jika konflik itu bukan berdasar agama, maka ada hal lain yang harus diungkap. Sentimen agama, suku, dan bangsa biasanya dijadikan bahan bakar konflik yang berawal dari ketidakadilan ekonomi dan ketiadaan negara di tengah warga negaranya.

Saya tidak cukup percaya bahwa perbedaan agama dan bangsa bisa membuat orang membenci. Ada hal lain yang membuat orang saling benci dan lantas keburukan itu ditempelkan pada identitasnya. Tenaga untuk menciptakan perdamaian dunia sebaiknya dikonsentrasikan untuk mengatasi persoalan-persoalan struktural dengan tidak menafikan konteks tentang perang identitas. Agar orang tak lagi salah sambung untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tidak tesasar pada perjalanan spiritualitas yang berdampak pada ketidakramahan terhadap sesama manusia.

Kegagalan manusia dalam menemukan kehidupan yang damai lahir batin tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuannya dalam ber-qona’ah  atau self-acceptance, melainkan juga struktur di sekitarnya yang memengaruhi kondisi dapur, rekening, pendidikan anak, harga pupuk, upah kerja, dan ketidakmampuan untuk menjangkau kebutuhan pokok hidup. Yang juga disebut PK, agama dari tuhan ciptaan manusia itu menyukai orang kaya dan mengabaikan orang miskin.

PK mengantarkan kita pada setengah jawaban dari persoalan. Sisanya kita harus melanjutkannya sendiri dengan petualangan yang mungkin lebih membingungkan daripada PK alami. Karena kita tidak seperti PK yang bisa pergi dari bumi.


PS: Dulu waktu saya kecil, saya diberitahu kalau nomor telepon Allah itu 24434  :D



1 komentar:

jangan lupa dikomen ya! :)