Minggu, 08 Februari 2015

Oikos


Sebenarnya itu adalah judul yang sok-sokan untuk mengantarkan pada sekadar curhatan. Tapi dalam situasi yang bagi saya agak menekan ini, ingatan melayang pada bacaan-bacaan lama tentang publik-privat, domestikasi, dan semacamnya. Saya tak hendak membawa ini pada perbincangan tentang gender. Sama sekali tidak. Ini hanya tentang babak baru yang saya jalan dua bulan belakangan ini.

Barangkali ketika orang menemukan saya di rumah saja dan bermain dengan ponakan jadi bertanya atau mencoba mengambil kesimpulan sendiri. Itu nampak dari timpalan mereka ketika saya bilang ‘Nggih, sampun rampung (kuliahe)’. Sebagian mungkin berpikir saya di rumah membantu orang tua untuk mengurus yang bisa diurus. Kemungkinan yang lain mereka berpikir saya akan sekolah lagi atau mau menikah. Bisa jadi mereka juga mengira saya bingung mau ngapain karena tidak kerja. Semua kemungkinan itu mengandung kebenaran dan kesalahan.

Saya di rumah tidak membantu orang tua kecuali dalam hal menjaga dan bermain dengan ponakan. Kemungkinan sekolah lagi juga besar, tapi tidak dalam waktu dekat. Tidak bekerja memang benar karena saya menolak dengan halus dan tidak menjawab beberapa tawaran (dan kesempatan) kerja dengan berat hati. Barangkali paragraf ini adalah pledoi mengapa saya jadi sarjana pengangguran. Saya tengah memilih untuk ‘tidak melakukan apa-apa’ dalam kegalauan. Ketika saya mulai galau karena ‘terjebak’ dalam dunia domestik, saya ingat kembali tentang oikos dan polis.

Oikos adalah istilah Yunani sebagai lawan dari polis. Oikos adalah privat dan polis adalah publik. Setiap dari kita menjalankan peran dalam kedua panggung tersebut. Kedua hal itu kerap disebut bergantian dalam buku-buku yang sebenarnya hanya untuk mengantarkan pada salah satunya saja. Polis atau ruang publik adalah pembahasan seksi sejak Habermas melemparkannya pada jagad intelektual dunia. Tapi oikos, jarang dikaji serius, kecuali belakangan menjadi pembahasan yang membahana di kalangan feminis dengan istilah domestikasi perempuan.

Polis Yunani yang jadi cikal bakal demokrasi dunia itu kerap disanjung. Barangkali bukan lupa, tapi hanya tak terlalu mengacuhkan bahwa deliberasi masa Yunani itu hidup di luar oikos yang memiliki watak ekspolitatif dan subordinatif. Itu mengutip dari buku Politik Otentik karya Agus Sudibyo yang membicarakan pemikiran politik Hannah Arendt, seorang perempuan Yahudi yang cemerlang.

Kehidupan oikos menyimpan motif untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan keluarga. Dalam hal ini yang digarisbawahi perbedaan antara domestik-publik bukan semata soal siapa yang bekerja di rumah tanpa diupah atau yang bekerja di luar dengan upah, melainkan ada dan ketiadaan ruang yang artikulatif.  Menurut Arendt, polis adalah ruang aktualisasi kebebasan yang tak dimungkinkan dalam oikos.

Cara Soeharto memainkan dirinya sebagai Bapak Bangsa itu yang disebut F. Budi Hardiman, meminjam Arendt, sebagai super-keluarga.  Tidak ada istilah ‘bapak’ sebagai orang tua dalam publik. Sebab itu akan menimbulkan hierarki, sementara dalam publik semua orang atau warga negara mesti setara. Jika logika oikos semestinya tidak boleh menyentuh ranah publik, maka apakah yang sebaliknya juga tidak seharusnya terjadi? Apakah yang polis tidak boleh masuk dalam oikos? Apakah tidak lumrah ada demokrasi dalam keluarga? Atau jika ada yang mengaku demikian sebenarnya itu tidak pernah benar-benar ditegakkan? Jika saja ada demokrasi dalam keluarga apakah semua anggota keluarga terutama posisi suami – istri dan orang tua – anak memang setara?

Pernah saya dengar celethukan dari kakak saya, jika sudah tidak ada pertengkaran antara bapak dan anak, selesai lah dunia ini. Ini bisa diteruskan ke celethukan lainnya seperti, ‘arek saiki angel dikandani’ –saya mendengar ini dari orang di atas generasi saya ke generasi saya dan dari generasi saya yang sudah mulai dewasa kepada generasi di bawah saya. Ketika saya mendengar dari segenerasi saya, saya menahan geli. Saya belum lupa dikatai seperti itu dan sudah ada teman sebaya yang bicara seperti orang tua. Situasi sebenarnya tidak pernah berubah. Yang berubah adalah anak-anak yang menjadi dewasa dan berbicara seperti orang tuanya ketika dia masih anak-anak, sementara anak-anaknya melakukan hal yang sama persis ketika dia masih anak-anak. Demikian hidup.

Lebih jauh lagi, anak-anak dalam arahan Ibu, Ibu manut Bapak (dalam pengertian gradual). Pada zaman oikos Yunani, keluarga juga terdiri dari budak. Selain laki-laki, tidak ada yang bisa terlibat dalam proses politik polis yang menggelora. Perempuan dan budak terbenam dalam oikos. Tidak ada ruang artikulasi yang bebas dalam keluarga.

Saya mendengar dan membaca, ada keluarga yang memiliki bapak yang demokratis. Saya ingat sosok Letnan Jenderal Wiranto dalam novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya. Juga dalam buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’, Gus Dur yang digambarkan sebagai sosok suami dan bapak yang tidak ragu untuk cawe-cawe perkara belakang seperti mengganti popok anak. Gus Dur  dinilai anak-anaknya memberikan keleluasaan untuk membentuk diri mereka sendiri. Sampai-sampai, ada teman yang usai membaca bagian dari awal buku itu ingin punya suami seperti Gus Dur. Banyak orang bilang Gus Dur sebagai Guru Bangsa tak tergantikan, artinya tak ada yang menyamai. Tapi apakah Gus Dur dalam peranannya di keluarga ada yang bisa demikian? Saya tak hendak mengatakan tak ada lelaki yang bisa melakukannya, saya kira kalau dicari pasti ada beberapa. Tapi kita tak mendengarnya karena peran publiknya tak sebesar Gus Dur. Bahkan sudah mulai muncul juga istri bekerja, suami mengurus rumah tangga.

Dalam sepanjang konstruksi sejarah manusia, keluarga menyimpan watak hierakis. Itu fakta, tapi belum tentu benar atau mutlak demikian.  Ketika desakan demokratisasi menguat di publik, hembusan angin yang sama juga mengarah pada kehidupan privat. Itu yang menyebabkan ada ekspresi sulitnya mendidik anak masa kini yang tidak mudah patuh dan konsekuensinya harus membuka ruang kompromi dengan mendengar kehendak anak. Demikian juga istri-istri yang ingin bekerja di luar rumah karena dorongan eksistensial.

Kisah Gus Dur dan keluarganya tadi sebenarnya menunjukkan memudarnya hieraki itu. Selain karena Gus Dur adalah sosok yang memang besar, secara objektif ada situasi yang mengapresiasi cara Gus Dur mendistribusikan otoritasnya kepada anggota keluarga yang lain. Dalam budaya keluarga yang kerap disebut patriarkal ini, demokrasi dalam keluarga hanya bisa terjadi jika ‘pimpinan’ keluarga mau membagi kekuasaannya dan menggelar ruang dengar dan wicara.

Pembahasan di atas barangkali memandang keluarga dengan terlalu politis. Dalam keluarga selalu ada kepentingan, anak terhadap orang tua dan orang tua terhadap anak. Tetapi yang membuat kesan kepentingan itu mereda adalah adanya kasih sayang di antara anggota keluarga. Dalam cinta, altruisme tak bisa dihindari sebagai konsekuensi.

Dari sini dapat dipahami mengapa perbincangan tentang domestikasi perempuan selalu ‘menyerang’ laki-laki. Kita berada dalam budaya oikos yang dipimpin laki-laki sehingga kasus Gus Dur tadi dia sebagai laki-laki yang mendapat apresiasi. Tapi dalam keluarga lain yang pimpinan keluarga tidak mendistribusikan keleluasaannya, istri dan anak dianggap durhaka. Jika mendapat keleluasaan itu akan ditempuh dengan cara baik-baik oleh istri atau anak, sebagai metode untuk menemukan titik tengah tanpa dianggap pemberontak, itu membutuhkan kemampuan diplomasi yang cakap dan kesabaran yang sangat.

Bagaimana jika ada keluarga yang anak selalu menang dan orang tua mengalah? Mendiplomasikan kehendak yang berbeda memang tidak mudah. Karena sayang (atau takut), salah satu pihak memilih mengalah daripada kehilangan relasi darah. Bisa jadi juga anak mengambil sebagian otoritas dalam keluarga tanpa mau mendistribusikannya.
Hari ini isu perempuan dan anak sudah menjadi isu yang diurus oleh negara, dengan demikian ada bagian dari privat yang bisa menjadi publik dengan intervensi tertentu. Ini problematis bagi sebagian orang. Tapi dalam persoalan kekerasan, terhadap siapa pun, harus diselesaikan dengan hukum.

Ketika mendengar istilah ‘menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan’, bagi saya justru terdengar ganjil. Bagaimana mungkin beberapa orang yang bersengketa yang saling meliyankan itu tiba-tiba menjadi keluarga yang dapat membagi otoritas dengan adil? Jalan memutar itu melelahkan. Dalam kehidupan publik justru semua orang itu setara tidak perlu repot-repot membuat kondisi keluarga yang palsu dan instan.

Kini, bisa dibilang saya tengah mendomestikasi diri karena alasan tertentu yang tidak bisa saya jelaskan di sini. Toh saya pun sebenarnya tidak domestik-domestik amat, saya justru merasa seperti bangsawan zaman dulu yang punya banyak leissure time untuk melakukan hobi. Hehe. Yang membuat saya berulang kali berpikir itu bukan pekerjaan domestiknya, melainkan merenungi ruang oikos. Merenungi hubungan dan interaksi yang terjadi dalam keluarga saya dan keluarga lainnya yang menghadapi problemnya masing-masing.

Dengan ruang oikos yang leluasa, bukan berarti perempuan harus berlabuh dalam peranan publik yang luas sekaligus terbatas misalnya, melainkan kebebasan untuk memilih dan saling mengompromikan kehendak. Bagaimana antaranggota keluarga saling merespon kehendak. Dalam kondisi keluarga yang mempertahankan posisi hierakis, kehendak anggota keluarga selain pimpinan akan segera dinafikan dan rawan terjadi pemaksaan.

Dalam persoalan istilah oikos dan domestik  yang lebih penting dipikirkan dan dilakukan itu bukan aktivitas memasak-mencuci -mendidik  anak-mencari penghasilan (sebagai semata tugas atau rutinitas)—nya, melainkan bagaimana interaksi dalam oikos itu memegang andil dalam menentukan siapa melakukan apa dalam keluarga dan dalam hidupnya sendiri. Pertanyannya adalah seluas apa ruang artikulasi dalam oikos dan  seberapa ‘adil’ otoritas itu didistribusikan di antara anggota keluarga.

WaLlahu a’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)