Sebenarnya itu adalah
judul yang sok-sokan untuk mengantarkan pada sekadar curhatan. Tapi dalam
situasi yang bagi saya agak menekan ini, ingatan melayang pada bacaan-bacaan
lama tentang publik-privat, domestikasi, dan semacamnya. Saya tak hendak membawa
ini pada perbincangan tentang gender. Sama sekali tidak. Ini hanya tentang
babak baru yang saya jalan dua bulan belakangan ini.
Saya di rumah tidak
membantu orang tua kecuali dalam hal menjaga dan bermain dengan ponakan. Kemungkinan
sekolah lagi juga besar, tapi tidak dalam waktu dekat. Tidak bekerja memang
benar karena saya menolak dengan halus dan tidak menjawab beberapa tawaran (dan
kesempatan) kerja dengan berat hati. Barangkali paragraf ini adalah pledoi
mengapa saya jadi sarjana pengangguran. Saya tengah memilih untuk ‘tidak
melakukan apa-apa’ dalam kegalauan. Ketika saya mulai galau karena ‘terjebak’
dalam dunia domestik, saya ingat kembali tentang oikos dan polis.
Oikos adalah istilah Yunani sebagai lawan dari polis.
Oikos adalah privat dan polis adalah publik. Setiap dari kita menjalankan
peran dalam kedua panggung tersebut. Kedua hal itu kerap disebut bergantian
dalam buku-buku yang sebenarnya hanya untuk mengantarkan pada salah satunya
saja. Polis atau ruang publik adalah pembahasan seksi sejak Habermas
melemparkannya pada jagad intelektual dunia. Tapi oikos, jarang dikaji
serius, kecuali belakangan menjadi pembahasan yang membahana di kalangan
feminis dengan istilah domestikasi perempuan.
Polis Yunani yang jadi
cikal bakal demokrasi dunia itu kerap disanjung. Barangkali bukan lupa, tapi
hanya tak terlalu mengacuhkan bahwa deliberasi masa Yunani itu hidup di luar oikos
yang memiliki watak ekspolitatif dan subordinatif. Itu mengutip dari buku
Politik Otentik karya Agus Sudibyo yang membicarakan pemikiran politik Hannah
Arendt, seorang perempuan Yahudi yang cemerlang.
Kehidupan oikos menyimpan
motif untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan keluarga. Dalam hal ini yang
digarisbawahi perbedaan antara domestik-publik bukan semata soal siapa yang
bekerja di rumah tanpa diupah atau yang bekerja di luar dengan upah, melainkan
ada dan ketiadaan ruang yang artikulatif.
Menurut Arendt, polis adalah ruang aktualisasi kebebasan yang tak
dimungkinkan dalam oikos.
Cara Soeharto memainkan
dirinya sebagai Bapak Bangsa itu yang disebut F. Budi Hardiman, meminjam
Arendt, sebagai super-keluarga. Tidak
ada istilah ‘bapak’ sebagai orang tua dalam publik. Sebab itu akan menimbulkan
hierarki, sementara dalam publik semua orang atau warga negara mesti setara.
Jika logika oikos semestinya tidak boleh menyentuh ranah publik, maka apakah
yang sebaliknya juga tidak seharusnya terjadi? Apakah yang polis tidak
boleh masuk dalam oikos? Apakah tidak lumrah ada demokrasi dalam
keluarga? Atau jika ada yang mengaku demikian sebenarnya itu tidak pernah
benar-benar ditegakkan? Jika saja ada demokrasi dalam keluarga apakah semua
anggota keluarga terutama posisi suami – istri dan orang tua – anak memang
setara?
Pernah saya dengar celethukan
dari kakak saya, jika sudah tidak ada pertengkaran antara bapak dan anak,
selesai lah dunia ini. Ini bisa diteruskan ke celethukan lainnya
seperti, ‘arek saiki angel dikandani’ –saya mendengar ini dari orang di
atas generasi saya ke generasi saya dan dari generasi saya yang sudah mulai
dewasa kepada generasi di bawah saya. Ketika saya mendengar dari segenerasi
saya, saya menahan geli. Saya belum lupa dikatai seperti itu dan sudah ada
teman sebaya yang bicara seperti orang tua. Situasi sebenarnya tidak pernah
berubah. Yang berubah adalah anak-anak yang menjadi dewasa dan berbicara
seperti orang tuanya ketika dia masih anak-anak, sementara anak-anaknya
melakukan hal yang sama persis ketika dia masih anak-anak. Demikian hidup.
Lebih jauh lagi,
anak-anak dalam arahan Ibu, Ibu manut Bapak (dalam pengertian gradual). Pada
zaman oikos Yunani, keluarga juga terdiri dari budak. Selain laki-laki,
tidak ada yang bisa terlibat dalam proses politik polis yang menggelora.
Perempuan dan budak terbenam dalam oikos. Tidak ada ruang artikulasi yang bebas
dalam keluarga.
Saya mendengar dan membaca, ada keluarga yang memiliki bapak yang demokratis. Saya ingat sosok Letnan Jenderal Wiranto dalam novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya. Juga dalam buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’, Gus Dur yang digambarkan sebagai sosok suami dan bapak yang tidak ragu untuk cawe-cawe perkara belakang seperti mengganti popok anak. Gus Dur dinilai anak-anaknya memberikan keleluasaan untuk membentuk diri mereka sendiri. Sampai-sampai, ada teman yang usai membaca bagian dari awal buku itu ingin punya suami seperti Gus Dur. Banyak orang bilang Gus Dur sebagai Guru Bangsa tak tergantikan, artinya tak ada yang menyamai. Tapi apakah Gus Dur dalam peranannya di keluarga ada yang bisa demikian? Saya tak hendak mengatakan tak ada lelaki yang bisa melakukannya, saya kira kalau dicari pasti ada beberapa. Tapi kita tak mendengarnya karena peran publiknya tak sebesar Gus Dur. Bahkan sudah mulai muncul juga istri bekerja, suami mengurus rumah tangga.
Dalam sepanjang konstruksi
sejarah manusia, keluarga menyimpan watak hierakis. Itu fakta, tapi belum tentu
benar atau mutlak demikian. Ketika
desakan demokratisasi menguat di publik, hembusan angin yang sama juga mengarah
pada kehidupan privat. Itu yang menyebabkan ada ekspresi sulitnya mendidik anak
masa kini yang tidak mudah patuh dan konsekuensinya harus membuka ruang
kompromi dengan mendengar kehendak anak. Demikian juga istri-istri yang ingin
bekerja di luar rumah karena dorongan eksistensial.
Kisah Gus Dur dan keluarganya
tadi sebenarnya menunjukkan memudarnya hieraki itu. Selain karena Gus Dur
adalah sosok yang memang besar, secara objektif ada situasi yang mengapresiasi
cara Gus Dur mendistribusikan otoritasnya kepada anggota keluarga yang lain.
Dalam budaya keluarga yang kerap disebut patriarkal ini, demokrasi dalam
keluarga hanya bisa terjadi jika ‘pimpinan’ keluarga mau membagi kekuasaannya
dan menggelar ruang dengar dan wicara.
Pembahasan di atas
barangkali memandang keluarga dengan terlalu politis. Dalam keluarga selalu ada
kepentingan, anak terhadap orang tua dan orang tua terhadap anak. Tetapi yang
membuat kesan kepentingan itu mereda adalah adanya kasih sayang di antara
anggota keluarga. Dalam cinta, altruisme tak bisa dihindari sebagai
konsekuensi.
Dari sini dapat dipahami mengapa perbincangan tentang domestikasi perempuan selalu ‘menyerang’ laki-laki. Kita berada dalam budaya oikos yang dipimpin laki-laki sehingga kasus Gus Dur tadi dia sebagai laki-laki yang mendapat apresiasi. Tapi dalam keluarga lain yang pimpinan keluarga tidak mendistribusikan keleluasaannya, istri dan anak dianggap durhaka. Jika mendapat keleluasaan itu akan ditempuh dengan cara baik-baik oleh istri atau anak, sebagai metode untuk menemukan titik tengah tanpa dianggap pemberontak, itu membutuhkan kemampuan diplomasi yang cakap dan kesabaran yang sangat.
Bagaimana jika ada keluarga yang anak selalu menang dan orang tua mengalah? Mendiplomasikan kehendak yang berbeda memang tidak mudah. Karena sayang (atau takut), salah satu pihak memilih mengalah daripada kehilangan relasi darah. Bisa jadi juga anak mengambil sebagian otoritas dalam keluarga tanpa mau mendistribusikannya.
Hari ini isu perempuan
dan anak sudah menjadi isu yang diurus oleh negara, dengan demikian ada bagian
dari privat yang bisa menjadi publik dengan intervensi tertentu. Ini
problematis bagi sebagian orang. Tapi dalam persoalan kekerasan, terhadap siapa
pun, harus diselesaikan dengan hukum.
Ketika mendengar istilah
‘menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan’, bagi saya justru terdengar ganjil.
Bagaimana mungkin beberapa orang yang bersengketa yang saling meliyankan itu
tiba-tiba menjadi keluarga yang dapat membagi otoritas dengan adil? Jalan
memutar itu melelahkan. Dalam kehidupan publik justru semua orang itu setara
tidak perlu repot-repot membuat kondisi keluarga yang palsu dan instan.
Kini, bisa dibilang saya
tengah mendomestikasi diri karena alasan tertentu yang tidak bisa saya jelaskan
di sini. Toh saya pun sebenarnya tidak domestik-domestik amat, saya justru
merasa seperti bangsawan zaman dulu yang punya banyak leissure time
untuk melakukan hobi. Hehe. Yang membuat saya berulang kali berpikir itu bukan
pekerjaan domestiknya, melainkan merenungi ruang oikos. Merenungi hubungan dan
interaksi yang terjadi dalam keluarga saya dan keluarga lainnya yang menghadapi
problemnya masing-masing.
Dengan ruang oikos yang
leluasa, bukan berarti perempuan harus berlabuh dalam peranan publik yang luas
sekaligus terbatas misalnya, melainkan kebebasan untuk memilih dan saling
mengompromikan kehendak. Bagaimana antaranggota keluarga saling merespon
kehendak. Dalam kondisi keluarga yang mempertahankan posisi hierakis, kehendak
anggota keluarga selain pimpinan akan segera dinafikan dan rawan terjadi
pemaksaan.
Dalam persoalan istilah oikos dan domestik yang lebih penting dipikirkan dan dilakukan itu bukan aktivitas memasak-mencuci -mendidik anak-mencari penghasilan (sebagai semata tugas atau rutinitas)—nya, melainkan bagaimana interaksi dalam oikos itu memegang andil dalam menentukan siapa melakukan apa dalam keluarga dan dalam hidupnya sendiri. Pertanyannya adalah seluas apa ruang artikulasi dalam oikos dan seberapa ‘adil’ otoritas itu didistribusikan di antara anggota keluarga.
WaLlahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jangan lupa dikomen ya! :)