Sabtu, 24 Maret 2012

Menulis Perempuan dengan Merdeka


Menulis tentang perempuan bisa dimulai dan diakhiri di mana saja. Kali ini, saya ingin menulis dengan bebas, memilih perspektif saya sendiri. Berangkat dari persoalan dasar dan laten... 
Saya awali dengan sebuah cuplikan dialog dari film Iron Lady yang sudah diterjemahkan, diambil dari scene ketika Tatcher dilamar oleh Denis, suaminya.

Denis: Margaret, maukah kau menikahiku? Bagaimana?
Margaret: Ya. Ya! (raut mukanya berubah dari senang menjadi ragu)
Denis: Apa?
Margaret: aku sangat mencintaimu tetapi .. Aku tidak akan pernah bisa menjadi salah satu dari wanita itu Denis, yang selalu diam dan bersikap manis di sisi suami mereka atau terpisah dan sendirian di dalam dapur mencuci apapun yang ada disana. Kita akan mendapat bantuan untuk itu. Tidak.. Hidup seseorang haruslah bermanfaat Denis. Lebih dari memasak dan bersih-bersih dan anak-anak, hidup seseorang haruslah lebih berarti daripada itu saja. Aku tidak mau mati mencuci sebuah cangkir teh . Aku serius Denis. katakan kau mengerti.
Denis: Karena itulah aku ingin menikahimu, sayangku.

Percakapan di atas, pertama-tama, mengantarkan kita pada persoalan abadi dalam gender, yakni publik dan domestik. Dikotomi dua ranah itu adalah niscaya. Tapi, dalam gender, problematika utama adalah ketidaksetaraan. Gender differences dimaklumi, tapi gender inequalities itu tidak manusiawi.

Sejak SMA, saya hafal betul kalau perbedaan jenis kelamin termasuk dalam perbedaan horizontal dalam masyarakat, alias diferensiasi. Nah, ada yang aneh ketika posisi laki-laki dan perempuan menjadi asimetris, seperti bergeser pada pola stratifikasi. Stratifikasi terbentuk disebabkan oleh suatu hal yang dianggap berharga dalam masyarakat. Misal, kaya-miskin yang membedakan keduanya adalah harta, di antara pintar-bodoh adalah ilmu, dan sebagainya. Maka, apa yang dianggap berharga oleh laki-laki dan perempuan sehingga diperebutkan? Dugaan saya, peran publik.

Diskusi mengenai boleh tidaknya perempuan berperan di ruang publik sudah ditarik ke mana-mana, antara lain, agama menjadi pemainnya. Dalam Islam, misal, perempuan memperoleh waris separuh dari jatah laki-laki. Konon, sebab laki-laki yang lebih membutukan, ia menjadi pemimpin keluarga yang menanggung sejumlah kepala. Sementara, harta perempuan adalah hartanya sendiri, tidak menanggung nafkah. Tetapi, di sisi lain, ada juga dasar yang membolehkan perempuan tampil mempublik, seperti kepemimpinan Aisyah yang masyhur dalam perang Jamal. Meskipun akhirnya contoh ini tetap khilafiyah karena terjadi pada zaman pasca Nabi.

Ada satu pelajaran dari almarhumah bu Lilik Zakiyah Munir yang senantiasa terngiang. Pelajaran ini saya dapat dari workshop memperingati Resolusi Jihad di Surabaya pada 2009. Kata beliau, salah satu bentuk jihad yang masih relevan saat ini adalah memerangi kemiskinan, di antaranya modus pemiskinan terhadap perempuan. Kalau perempuan tidak diperbolehkan bekerja, ia tidak mendapat penghasilan. Dengan begitu, hidupnya dibikin tergantung terhadap suami. Maka, praktik dominasi, ketidaksetraan, alih-alih kekerasan, berpotensi terjadi.

Tidak semua lelaki mujur untuk memenuhi nafkah keluarga. Yang menarik, “Iya, kalau suaminya umurnya panjang. Kalau tidak? Perempuan itu akan jadi janda miskin,” kira-kira begitu ungkap Bu Lilik. Maka, bekerja dan memiliki harta adalah hak asasi. Perempuan bekerja paling tidak untuk menyelamatkan dirinya dan anak-anaknya dari kemungkinan terburuk. Jika sewaktu-waktu Ayah meninggal, Ibu masih memiliki ceruk untuk makan dan pendidikan anak-anak.

Sampai di sini, ruang publik dikesankan sebagai sumber kehidupan materi keluarga. Di sana, uang bersirkulasi, pindah dari brangkas ke dompet kulit hitam lalu ke dompet pink berbunga, dari pasar ke bandar, dari pengemis ke warung rokok.

Sejatinya, ruang publik lebih dilematis dari persoalan uang. Ruang publik merupakan ruang abstrak yang menampung ekspresi, pikiran, opini, dan keluh-kesah manusia, lantas dipertukarkan satu dengan lainnya membentuk turbulensi wacana yang sama sekali baru.Kebutuhan perempuan di ruang publik, di antaranya, yaitu  kebutuhan untuk berekspresi. Setiap orang berhak untuk bercita-cita dan menggapainya.

Seorang teman asal Cilacap berkisah, tetangganya sebal sekali dengan istrinya yang tidak mau bekerja dan hanya menuntut harus terpenuhi keinginannya. Kadang, perempuan sendiri yang belum mau bergerak dari dapur dan kamar.

Menjadi ibu rumah tangga atau wanita karier itu pilihan, asal dilakukan dengan sadar. Perempuan mesti punya dasar mengapa ia menjadi ibu rumah tangga, bukan karena represi budaya patriarkal. Mengapa ia bekerja bukan karena latah modernitas. Tapi ia mesti bisa menentukan standpoint terhadap segala-gala yang ia putuskan.

Dalam perspektif feminisme, karena datang dari tradisi kritis, relasi perempuan-lelaki dalam pernikahan seringkali dipandang dengan letih dan pesimistis. Bahwa lembaga pernikahan hanya akan membatasi ruang gerak perempuan, mengurungnya selamanya dalam rutinitas membosankan rumah tangga.  Itu sebabnya, sejumlah feminis perempuan memutuskan tidak menikah, kuatir terjebak dalam lingkaran setan.

Bagi mereka yang percaya pada lembaga pernikahan, tuduhan kaum feminis-lajang memang tak bisa terhindarkan. Pernikahan tidak selalu indah di setiap detiknya. Persoalan kuasa dalam keluarga, tuntutan ekonomi, anak-anak, orang ketiga, itu menunjukkan bahwa problem bisa menghampiri dari arah mana saja. Pernikahan menjadi indah juga bukan lantaran seks belaka. Coba tanya pada sepasang kakek nenek yang masih tampak bahagia dengan pernikahan mereka, kebahagiaan itu tersusun bukan dari hal seperti cita-cita yang besar, melainkan kejadian-kejadian kecil dan detail yang sangat jujur mengungkap cinta di antara keduanya.

Relasi laki-laki dan perempuan sebagian besar porsinya dipelajari dengan pengalaman. Nasihat hanya akan benar jika muncul sebagai memori di waktu yang tepat. 
http://consciouslifestylesradioblog.com/category/eco-living-and-lifestyle/ 


Kesalahan Margaret
Ranah domestik isinya cuma dua, dapur dan anak-anak. Kalau perempuan bekerja, biasanya ada pertanyaan klasik yang muncul, siapa yang mengurus rumah dan anak-anak? Jawaban Margaret Tatcher sangat tegas dalam hal ini, bahwa hidupnya harus lebih bermanfaat daripada mencuci cangkir dan merawat anak. Dengan asumsi bahwa mengurus rumah dan anak adalah sepaket, maka pilihannya menjadi kaku, mengurus keduanya atau meninggalkannya sama sekali. Dengan begitu, solusinya juga sepaket, urusan rumah tangga dan anak diserahkan pada khadam atau pembantu.

Kalau memang ogah mencuci, mengepel, menguras, memasak, mengurus kebun, bolehlah persoalan-persoalan itu dilimpahkan pada orang kepercayaan. Tapi bisakah persoalan anak dipercayakan pada khadam? Kalau soal mengganti popok, memandikan, membuat bubur, masih bisa ditoleransi. Tapi mengajarinya berpikir, bicara, dan bersikap, relakah anak dibentuk orang lain? Mencuci dan anak adalah dua hal yang sama sekali berbeda, itulah kesalahan Margaret.

Saya jadi teringat, beberapa hari lampau seorang teman seasrama bercerita tentang Thomas Alfa Edison yang ketika elementary school dikeluarkan dari sekolah karena  tidak bisa mengikuti perkembangan teman-temanya untuk belajar membaca dan pelajaran dasar lainnya. Maka, Ibu Edison mengajarinya membaca dengan tekun di rumah. Bayangkan saja kalau Ibu Edison mengabaikan pendidikan Edison untuk pekerjaannya, niscaya dunia ini senantiasa gelap karena Edison tidak jadi menemukan lampu pijar. Tapi semesta berkehendak dengan perspektif yang berbeda dalam pemilihan Margaret Tatcher sebagai Perdana Menteri perempuan pertama di Inggris. Ia sukses dalam berkarier, anak-anaknya juga relatif baik meskipun tidak segemilang ibunya.

Mencari contoh yang paling buruk sampai paling sukses perihal peran perempuan di sektor publik bukan hal sulit, jawaban-jawaban itu bertebaran di sekitar kita. Sesuatu yang sangat bergantung pada kondisi bisa menghasilkan dampak yang saling bertolak belakang, bagi saya, tak bisa ditarik ketentuan yang pasti apalagi secara universal. Bagi saya, perempuan bekerja atau tidak statusnya adalah pilihan dengan pelbagai risiko dan kemanfaatan.

Mendidik anak adalah kodrat (siapapun boleh tak sepakat) yang tak bisa ditinggalkan sejak seorang perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui. Juga bagi lelaki, sejak istrinya mengalami hal-hal tadi. Itu adalah risiko jangka panjang yang harus ditanggung. Dalam kehidupan modern, kewajiban mendidik anak bergeser pada kewajiban menyekolahkan. Orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak pada sekolah, madrasah, pesantren, bimbel, dan perguruan tinggi sehingga anak merasa hanya di sekolah dan pada guru mereka belajar. Ini yang terjadi pada saya dan banyak orang di generasi ini, lebih ngandel guru daripada orang tua. Lebih dekat dengan orang-orang di luar rumah.

Saya terpaksa menelan suara mempertanyakan dan dahi berkerut dari sejumlah orang saat mereka mendengar bahwa saya bekerja di sebuah lembaga homeschooling. Saya mengajar sejumlah anak yang berstatus homeschooling di sebuah kantor, meski sebagian dari mereka juga belajar di rumah. “Lho kok mereka belajarnya nggak di rumah, kan homeschooling?”

Dari hari-hari yang saya lalui di homeschooling ini, saya jadi berpikir, sekolah itu bisa dibuat sederhana. Tidak perlu menjadi robot seperti saya SMA dulu, berangkat mruput baru pulang setelah les bada isya’. Kadang saya pikir juga, anak-anak homeschooling ini terlalu banyak waktu senggang. Secara formal, mereka hanya belajar 6-12 jam dalam seminggu. Tapi nyatanya, materi selesai dan mereka masih bisa beraktivitas sesuai dengan keinginan.

Waktu senggang itulah sepenuhnya tanggung jawab orang tua untuk membentuk karakter mereka. Tapi ada juga orang tua yang tak punya waktu untuk anak. Salah satu murid yang baru saya kenal, ia tak mau sekolah sebagai bentuk protes terhadap orang tua yang teramat sibuk. Di ruang tamu rumahnya, saya melihat sejumlah pigura penghargaan dan souvenir dari luar negeri.

Kalau mau berpikir agak ekstrem, sebenarnya sekolah itu tidak perlu ada andai ayah dan ibu menjadwalkan diri mendidik anak-anaknya. Kata Nabi, al-ummu madrasah, lantas diteruskan oleh teman saya, wal abu mudiiruha. Ia bercerita lagi, itulah mengapa keluarga Yahudi mempunyai ajaran bahwa yang harus pintar itu Ibu untuk mendidik anak, Ayah bertugas menjamin keberlangsungan hidup keluarga.

Saya sepakat bahwa perempuan boleh bekerja, meski tidak harus. Tapi baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban untuk mendidik anak berbarengan dengan kewajiban terhadap pekerjaan mereka. Tidak harus model homeschooling, yang penting ada jam belajar bersama orang tua yang lantas anak-anak merasa bahwa orang tua peduli dengan alam pikir mereka. Ini penting agar orang tua tidak kehilangan peran di mata dan hati anak-anak.

Being for whom?
Keberadaan manusia, di antaranya, diukur dari nilai keberadaannya bagi manusia lain tanpa menganggu kemerdekaannya. Perempuan ada untuk dirinya sendiri, membangkitkan segala-gala yang ada pada nuraninya. Perempuan ada untuk melahirkan peradaban dunia dengan semua-mua yang ia bisa.

Sampai di sini, saya ingin mengakhiri pertikaian domestik-publik dan lelaki-perempuan, setidaknya dalam kepala saya sendiri. Menulis ini begitu mudah. Entah, saya sendiri belum pernah menikah dan menjadi orang tua...