Minggu, 13 Mei 2012

Janji Fajar dan Senja

oleh: Nabilah Munsyarihah

Aku selamanya menemui senja dan tak pernah bertatap muka dengan fajar. Aku senantiasa dengan deburan ombak dan kamu diselimuti kabut. Di antara kita terbujur rasi bintang yang membentuk anak panah. Rumpun bintang itu bukan menggantung di langit, melainkan melayang di atas jalanan kota. Ujung anak panah itu mengarah pada kamu berada, di kaki sebuah gunung perkasa.

Suatu saat kita tak sengaja bertemu di tengah kota yang langit-langitnya serupa aurora. Kita tak sengaja duduk berdua di bawah kanopi. Wajahku sesendu senja dan senyummu menyimpan kerling fajar. Bulan terasa sangat dekat dengan bumi. Ombak mulai pasang dan mata kita saling berpapasan.

Kita berkenalan dengan gugup lalu berjalan bersama dengan salah tingkah. Kita mengunjungi sebuah menara kunang-kunang. Kunang-kunang muda berwarna kehijauan dan yang tua kuning menyala. Sehari semalam kita bersama menatap kunang-kunang melayang di atas kepala lalu jelang fajar kelompok kunang-kunang itu jatuh satu per satu dan tak pernah bangkit lagi.

Menara itu dekat tempat tinggalmu di bawah kaki gunung perkasa. Kamu memintaku menginap untuk kau tunjukkan pekatnya kabut di pagi hari. Kita melewati malam dengan membaca dongeng dan puisi. Fajar itu tak ada satu ayam pun berkokok. Hanya desah nafasmu yang teratur dan suaramu yang nyaring terdengar olehku.

 “Di kaki gunung, kami menanam pelbagai macam tanaman untuk dimakan. Juga bunga-bunga untuk kami serap keindahannya. Bunga itu anggun sebab setiap pagi mereka menelan segarnya embun,” lantas kamu memetikkanku sekuntum kenanga.

Kuhirup dalam-dalam kenanga yang kau petik untukku. Tapi malah aku yang merasa terhisap ke dalam putik-putik kenanga itu. Aku jatuh dan tak bangkit.

Kau kira aku keracunan harum kenanga. Bukan. Aku alergi terhadap fajar. Mestinya aku tidur semalaman, tapi aku tak tidur bersamamu. Segalanya yang ada pada diriku diserap oleh kaku-dinginnya fajar.

Lekas-lekas kau membaringkanku di pasir pantai yang hangat. Melewati rasi bintang anak panah yang meredup satu per satu digantikan pancaran matari. Aku membuka mata dan menatapmu. Sesaat aku ragu sebab tak ada kerlingan fajar pada senyummu. “Adakah itu kamu?”

Matari telah mencipta bayangan tegak pada setiap benda yang bernyawa maupun tidak. Bagimu, ini midnight sun mulai kamu tampak terhuyung-huyung menyerah pada kantuk. Bagiku, setengah perjalanan lagi senja akan turun bersama matari yang diiringi kawanan mega yang merah megah dan garis cakrawala yang hitam tegas. Ini gilaranku menunjukkan padamu sempurnanya senja dengan ombak yang beriak, gagak yang lewat rendah, tatapan cakrawala, dan siul dari kapal-kapal nelayan.

Sebelum semua itu datang, kamu berpamitan. Bahkan aku belum sempat kusuguhkan apa-apa.

Kamu fajar dan aku senja, kita tak bisa memaksakan kehendak bersama. Segala pesonaku sirna sebab bulir-bulir cinta lenyap bersama harapan yang jatuh kehabisan tenaga.

http://zamrud-khatulistiwa.or.id/?p=617

“Aku akan senantiasa menyaksikan fajar untukmu dan kamu menyaksikan senja untukku,” kau ayunkan daguku untuk menatapmu, “akan kukirimkan sebuah pisau yang dapat memotong senja dan fajar. Senja dan fajar itu akan segera saling kita kirimkan. Di dalam potongan senja dan fajar yang diiris dengan mata pisauku, waktu akan terbunuh. Kalau kamu ingin bertemu denganku, masuklah dalam potongan fajar yang kelak kukirimkan. Kita akan bersama di dalamnya tanpa kamu perlu roboh dan aku tak kehilangan kerling fajar.”

Aku menanti mata pisau yang kau janjikan. Hatiku melapuk seperti karst pantai yang membentuk dolina, berlubang dan keropos. Mulailah tersebar penyakit gerowong di dalam dada yang tak bisa disembuhkan oleh dukun dan tabib manapun. Belakangan kudengar dari penduduk di sekitar rasi bintang anak panah, kaupun juga roboh dibunuh penyakit yang sama. “Aduhai, Kasihku, kau mendahuluiku mati lantaran rindu,” aku tersedu-sedu.

Belakangan kudengar lagi dari penduduk rasi bintang anak panah bahwa mata pisaumu dicuri oleh orang gila yang menernakkan kunang-kunang menjadi sebuah menara hijau kekuning-kuningan kuning kehijau-hijauan. Ia orang gunung yang tiba-tiba jatuh cinta pada senja dan ingin memotongnya untuk pujaan hatinya. Kudengar lagi, senja itu sudah dikirimkan pada pujaannya, Alina, yang ternyata tak pernah mencintainya.

Kuremas habis buku Sepotong Senja Untuk Pacarku yang mengisahkan seluruh akibat dari mata pisau yang dicuri itu. Seorang baik dari rasi anak panah menghadiahiku buku itu untuk pelipur lara. Kukecup tangannya sebab aku seperti hidup lagi dari kehancuran.

Selamanya senja tak berarti lagi sebab ia telah hilang dipotong. Toh tak ada lagi kekasihku sehingga senja tak perlu kukenang. Akan kudapatkan kembali mata pisau itu dari tangan Sukab yang mencintai Alina di ujung dunia. Dan segera kupotong fajar kabut pekat untuk kuboyong ke pantai. Akan kusulam, menambal langit senja yang lubang seperti dolina.

*untuk SGA dan lelaki dengan senyum kerling fajar