oleh: Nabilah
Munsyarihah
Aku selamanya menemui senja dan tak pernah bertatap muka
dengan fajar. Aku senantiasa dengan deburan ombak dan kamu diselimuti kabut. Di
antara kita terbujur rasi bintang yang membentuk anak panah. Rumpun bintang itu
bukan menggantung di langit, melainkan melayang di atas jalanan kota. Ujung anak
panah itu mengarah pada kamu berada, di kaki sebuah gunung perkasa.
Suatu saat kita tak sengaja bertemu di tengah kota yang langit-langitnya
serupa aurora. Kita tak sengaja duduk berdua di bawah kanopi. Wajahku sesendu
senja dan senyummu menyimpan kerling fajar. Bulan terasa sangat dekat dengan
bumi. Ombak mulai pasang dan mata kita saling berpapasan.
Kita berkenalan dengan gugup lalu berjalan bersama dengan
salah tingkah. Kita mengunjungi sebuah menara kunang-kunang. Kunang-kunang muda
berwarna kehijauan dan yang tua kuning menyala. Sehari semalam kita bersama
menatap kunang-kunang melayang di atas kepala lalu jelang fajar kelompok
kunang-kunang itu jatuh satu per satu dan tak pernah bangkit lagi.
Menara itu dekat tempat tinggalmu di bawah kaki gunung perkasa.
Kamu memintaku menginap untuk kau tunjukkan pekatnya kabut di pagi hari. Kita melewati
malam dengan membaca dongeng dan puisi. Fajar itu tak ada satu ayam pun
berkokok. Hanya desah nafasmu yang teratur dan suaramu yang nyaring terdengar
olehku.
“Di kaki gunung, kami menanam pelbagai macam
tanaman untuk dimakan. Juga bunga-bunga untuk kami serap keindahannya. Bunga
itu anggun sebab setiap pagi mereka menelan segarnya embun,” lantas kamu
memetikkanku sekuntum kenanga.
Kuhirup dalam-dalam kenanga yang kau petik untukku. Tapi malah aku
yang merasa terhisap ke dalam putik-putik kenanga itu. Aku jatuh dan tak
bangkit.
Kau kira aku keracunan harum kenanga. Bukan. Aku alergi
terhadap fajar. Mestinya aku tidur semalaman, tapi aku tak tidur bersamamu. Segalanya
yang ada pada diriku diserap oleh kaku-dinginnya fajar.
Lekas-lekas kau membaringkanku di pasir pantai yang hangat. Melewati
rasi bintang anak panah yang meredup satu per satu digantikan pancaran matari. Aku
membuka mata dan menatapmu. Sesaat aku ragu sebab tak ada kerlingan fajar pada
senyummu. “Adakah itu kamu?”
Matari telah mencipta bayangan tegak pada setiap benda yang
bernyawa maupun tidak. Bagimu, ini midnight
sun mulai kamu tampak terhuyung-huyung menyerah pada kantuk. Bagiku, setengah
perjalanan lagi senja akan turun bersama matari yang diiringi kawanan mega yang merah megah dan
garis cakrawala yang hitam tegas. Ini gilaranku menunjukkan padamu sempurnanya
senja dengan ombak yang beriak, gagak yang lewat rendah, tatapan cakrawala, dan
siul dari kapal-kapal nelayan.
Sebelum semua itu datang, kamu berpamitan. Bahkan aku belum
sempat kusuguhkan apa-apa.
Kamu fajar dan aku senja, kita tak bisa memaksakan kehendak
bersama. Segala pesonaku sirna sebab bulir-bulir cinta lenyap bersama harapan
yang jatuh kehabisan tenaga.
http://zamrud-khatulistiwa.or.id/?p=617 |
“Aku akan senantiasa
menyaksikan fajar untukmu dan kamu menyaksikan senja untukku,” kau ayunkan
daguku untuk menatapmu, “akan kukirimkan
sebuah pisau yang dapat memotong senja dan fajar. Senja dan fajar itu akan
segera saling kita kirimkan. Di dalam potongan senja dan fajar yang diiris
dengan mata pisauku, waktu akan terbunuh. Kalau kamu ingin bertemu denganku,
masuklah dalam potongan fajar yang kelak kukirimkan. Kita akan bersama di
dalamnya tanpa kamu perlu roboh dan aku tak kehilangan kerling fajar.”
Aku menanti mata pisau yang kau janjikan. Hatiku melapuk
seperti karst pantai yang membentuk dolina, berlubang dan keropos. Mulailah tersebar
penyakit gerowong di dalam dada yang
tak bisa disembuhkan oleh dukun dan tabib manapun. Belakangan kudengar dari
penduduk di sekitar rasi bintang anak panah, kaupun juga roboh dibunuh penyakit
yang sama. “Aduhai, Kasihku, kau mendahuluiku mati lantaran rindu,” aku tersedu-sedu.
Belakangan kudengar lagi dari penduduk rasi bintang anak panah
bahwa mata pisaumu dicuri oleh orang gila yang menernakkan kunang-kunang
menjadi sebuah menara hijau kekuning-kuningan kuning kehijau-hijauan. Ia orang
gunung yang tiba-tiba jatuh cinta pada senja dan ingin memotongnya untuk pujaan
hatinya. Kudengar lagi, senja itu sudah dikirimkan pada pujaannya, Alina, yang
ternyata tak pernah mencintainya.
Kuremas habis buku Sepotong
Senja Untuk Pacarku yang mengisahkan seluruh akibat dari mata pisau yang
dicuri itu. Seorang baik dari rasi anak panah menghadiahiku buku itu untuk
pelipur lara. Kukecup tangannya sebab aku seperti hidup lagi dari kehancuran.
Selamanya senja tak berarti lagi sebab ia telah hilang
dipotong. Toh tak ada lagi kekasihku sehingga senja tak perlu kukenang. Akan kudapatkan
kembali mata pisau itu dari tangan Sukab yang mencintai Alina di ujung dunia. Dan
segera kupotong fajar kabut pekat untuk kuboyong ke pantai. Akan kusulam,
menambal langit senja yang lubang seperti dolina.
*untuk SGA dan lelaki dengan senyum kerling fajar