Negera
ini sedang menipu rakyatnya sendiri~ Vona
Selasa
siang kemarin, Studio 3 bioskop 21 Ambarukmo Plaza tidak terisi penuh. Sejumlah
wajah orang Indonesia Timur terlihat di beberapa sudut. Kami disuguhi sebuah
film karya Alinea Pictures, Di Timur Matahari.
Kisah puncaknya dimulai dari ketika Ayah Mazmur pukuli orang yang tipu
dia dengan uang palsu. Keesokannya, Mazmur lihat sendiri ayahnya mati ditikam
anah panah sebagai upaya balas dendam pemukulan yang lalu. Sejak saat itu, dua
kampung bergolak. Teman-teman Mazmur mengikuti jejak Mazmur yang kehilangan
ayah mereka akibat perang saudara. Film ini sekilas justru membantu kita merawat stigma kekerasan
terhadap warga Papua.
Kami
Papua
Gadis
kecil itu bernama Vona. Ia suka duduk di tengah di antara ayah, paman, dan
saudara-saudaranya mendengarkan kisah dari kakeknya tentang tanah Papua dan
leluhur. Tidak ada kisah tentang orang Papua minum minuman keras yang pernah ia
dengar. Dia tak habis pikir bahwa kini, ketika ia dewasa, Papua identik dengan
kabar negatif, seperti kerusuhan dankekerasan, yang selama ini beredar luas di media.
Namanya
FE Trifonia Nafurbenan, lahir di Manokwari 33 tahun silam. Kini kampung
halamannya telah jadi daerah pemekaran, Kabupaten Teluk Bintuni. Wajahnya khas
Papua, tapi cara dia berbicara pada kami sudah tampak terbiasa tidak
menggunakan ‘dong’ atau ‘tra’. Wajar saja, Vona berkenalan dengan Jawa sejak
tahun 1994.
“Di
Teluk Bintuni ada tujuh suku. Saya dari suku Kirorutu,” ucap ibu beranak dua
itu. Pengetahuan tentang Jawa pada Vona dibawa oleh sekelompok pemuda Papua
yang sudah terlebih dulu menikmati mewahnya pendidikan di Jawa. Melalui
cerita-cerita senior itu, Vona tergerak untuk menempuh studi di Jawa lepas SMA.
Vona
mengalirkankisah pengalamannya. Ia menyimpan itikad untuk berbaur dalam
keberagaman Yogyakarta. Saatia berangkat kei kampus Pascasarjana MAP UGM, Vona
meninggalkan dua anaknya di sebuah kontrakan yang terletak di Jalan Kaliurang
KM.5. Di sana ia hidup bersama tetangga bilik dari Sulawesi, Sumatera, dan
Jawa. “Kami polos gaulnya. Kami rasa nyaman bergabung dengan mereka. Tapi kami
tidak tahu mereka bagaimana,” ungkap Vona.
Masuk
dalam lingkungan baru yang sama sekali berbeda bukan perkara mudah bagi
kebanyakan orang, termasuk Vona. Ia berusaha memahami lingkungan Jogja, di
antara lain bahasa, sikap, dan makanan. Ia mengaku tidak terlalu cocok dengan
makanan Jogja. Suatu saat ia putuskan pergi ke pasar mencari bahan untuk
dimasak. “Di pasar saya ngomong sama simbah, dia nggak bisa ngomong bahasa
Indonesia, saya juga nggak bisa bahasa Jawa. Saya bilang, ingin beli rica,” kisah Vona, “Apa? Merica ya? Dikiranya simbah itu bumbu
lada, merica. Padahal saya maksud cabe.” Kami pun tertawa serentak.
Ia
mengaku ada kecanggungan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jogja. Tapi
kemampuannya untuk segera menyesuaiakan diri dan tidak terlalu mengambil hati
perkataan orang tentangnya membantu Vona bertahan hidup. Ia menghadapi
pandangan negatif terhadapnya sebagai orang Papua dan seorang Kristiani. “Kita
Kristen suka makan babi. Mungkin mereka rasa haram main ke kita,” jelas Vona hati-hati. Ketika dua anaknya makan
lalu basa-basi saja mengajak orang sekitar makan juga, suasana jadi tidak enak.
Anaknya berusia 5 tahun dan 3 tahun.
“Mereka
punya persepsi terhadap saya keliru. Saya jadi bahan omongan. Kan biasa ya
ibu-ibu. Dan kebetulan saya tinggal dalam komunitas seperti itu. Saya sih tidak
terlalu menyoroti hal itu. Biar mereka dewasa sendiri dalam berpikir.
Masalahnya kecil tapi bisa membuat kesan yang tidak baik. Tapi saya merasa
senang, dalam arti mungkin kita bisa saling berbagi dalam komunitas yang
berbeda. Saya bisa cerita tentang Papua,
mereka bisa cerita daerah lain. Tapi saya tidak bisa memaksakan kondisi seperti
itu,” lantas ia tertawa, “saya lebih memilih diam tidak perlu disikapi.”
Semangat
Vona belajar di Jogja sangat besar. Kedatangannya pertama kali atas inisiatif
dan biaya sendiri. Tapi kini di Pascasarjana MAP, Vona mendapat beasiswa. Ia
bersyukur, “Puji Tuhan saya ada di Jogja sampai detik ini.” Kalung
manik-maniknya bergoyang mengikuti gerakan tubuhnya.Saat ditanya apa yang akan
dia lakukan setelah kembali ke Teluk Bintuni, “Saya sudah pegawai negeri di
Pemda Teluk Bintuni.”
Sesaat
kemudian seorang lelaki Papua berpakaian rapi dan bertopi baret menghampiri
kami. Ia mengambil duduk di antara saya dan Vona. Ia persilakan Vona meneruskan
kalimat-kalimatnya dulu lantas ia mendengarkan kelanjutan diskusi kami yang
kian serius.
Menjelaskan
identitas Papua dalam diri Vona berarti membeberkan seluruh luka Papua yang tak
terperi di dadanya. Papua kerap disebut daerah tertinggal. Sejak bergabung
dengan NKRI 1969, pemerintah memberikan perhatian yang kurang pada rakyat yang
ketika itu disebut Irian Barat lalu Irian Jaya. Pemerintah daerah pun tidak
memberikan pelayanan yang baik. Mereka lambat menangani ketertinggalan Papua.
Tapi istilah ini ditolak mentah-mentah oleh Vona, “Kita orang Papua tidak mau
dikatakan tertinggal. Siapapun yang dikatakan tertinggal pasti marah.”
Vona
bukan tidak realistis dengan keadaan Papua. Ia hanya ingin menjelaskan bahwa
kalaupun Papua itu dikatakan tertinggal bukan karena orangnya, melainkan
ketidakadilan pemerintah. Kekayaan alam Papua tidak dibarengi dengan
perkembangan pendidikan bagi anak-anak Papua. Daerah-daerah pedalaman Papua
banyak yang belum tersentuh pendidikan. Kalau ada pun medannya keras, harus
jalan dari bukit ke bukit atau mendayung perahu. Kondisi ini lazim di luar
Jawa.
foto diambil dari http://www.antaranews.com/berita/308006/kongres-as-tidak-dukung-papua-merdeka |
Vona
menjelaskan orang Papua dengan satu kata kunci, kepolosan. Mereka hidup apa
adanya dengan yang Tuhan berikan atas tanah Papua, kesuburan tanah dan kekayaan
perut buminya. Ia merasa berkecukupan dengan semua itu meski tak punya rumah
bagus yang bertembok dan berubin. Kadang orang lihat orang Papua tidak bersih
dan sehat. Tapi orang Papua tidak pernah ribut ketika BBM naik. Ia rasa cukup
bisa makan dan minum, keluar masuk hutan berburu lalu bawa daging tanpa beli,
dan petik sayur sendiri. Tanaman obat juga bertebaran. Kini lantaran dorongan
globalisasi, orang di pegunungan juga tahu apa yang terjadi di Indonesia dengan
bantuan alat komunikasi.
“Makanya,
dari mana kami dikatakan tertinggal?” Saya tercengung, orang-orang luar Papua
yang sudah merasa lebih pintar suka menilai Papua dengan perspektif yang
arogan. Label tertinggal itu siapa yang tempel kalau bukan Jakarta. Sementara
mereka, Papua, punya kearifan yang barangkali kurang dipahami selama ini.
Pembicaraan
melangkah pada isu kekerasan. Vona mulai ambil nada meninggi dan kerut di dahi.
Sejujurnya ia kuatir orang Papua akan habis karena menurutnya ada trik yang
dibangun untuk itu. “Yang jadi pertanyaan itu kami tidak pernah terlibat secara
langsung untuk memiliki bangsa ini. Kami ini kan bagian dari bangsa,
keikutsertaan itu tidak ada nilai. Berbagai macam konfrontasi mungkin itu
bagian dari ekspresi ketidakadilan. Saya
rasa orang Papua itu sebenarnya senang jadi bagian dari NKRI. Tapi, kami menganggap
bahwa selama ini kami hanya diobjekkan sebagai perut republik,” tegas Vona.
Kekuatiran
terhadap agenda penghabisan orang Papua ini bukan tanpa sebab. Paling tidak
Vona punya dua alasan kuat, karena miras dan seks bebas. Miras yang didatangkan
dari luar Papua itu sungguh merusak peradaban mereka. Dulu, orang desa kuat
berjalan karena air putih. Kini mereka suka minum sampai mabuk.
Bapak
yang duduk di sebelah saya akhirnya angkat bicara, namanya Gerald Bidani.
Perempuan-perempuan
didatangkan dari luar Papua lantas dilokalisasikan. Lokalisasi ini bagian dari
kebijakan pemerintah. Karena itu juga angka HIV/AIDS di Papua tinggi. Ini yang
membuat mereka rasa terancam keberlangsungan peradabannya.
Sementara,
pemerintah tidak mengambil tindakan tegas. Kedua hal itu menjadi semacam
komoditas yang memberikan keuntungan bagi oknum-oknum tertentu. Generasi muda
Papua yang sudah melek teknologi juga mulai dicekoki video porno. Di mana-mana
modernisasi tidak selalu membawa kabar gembira.
Dialog
Identitas
Keluarganya
telah menetap di Jayapura selama beberapa generasi. Tapi wajahnya tak sedikit
pun menampakkan ras melanesia. Gaya bicaranya juga sudah khas gadis muda
modern. Pricillia Rachel Andries ternyata berdarah Manado.
Ia kerap kumpul dengan paguyuban
mahasiswa asal Papua. “Aku sering ikut mahasiswa timur di UKDW. Mereka bikin
kompetisi futsal Formapa (Forum Mahasiswa Papua) kemarin,” ungkap mahasiswa D3
Pariwisata ini. Preti, ia biasa disapa, merasa ia orang Papua sekalipun tidak
ada darah Papua yang mengalir dalam tubuhnya. Di kos, ia tinggal bersama
teman-teman dari Papua, Solo, dan Klaten. Dengan teman Papua, ia tetap menjaga
bicara dengan dialek Papua. Ia mengamini watak dan sikap orang Papua yang
keras. Beberapa perempuan Papua juga sensitif kalau dilihat terus-terusan.
Seorang temannya pernah dilabrak karena berbuat demikian.
“Aku
merasa bangga, aku beda sendiri dari timur,” ungkap Preti jujur.Tetapi ia tidak
pernah mendapat kesulitan sebagai orang Timur yang datang ke Jawa. Ya, sebab
tak ada bekas Papua di dirinya yang tampak mata, kecuali diulik lebih dulu. Lagi
pula ia tinggal di ibu kota Provinsi.
Di
kesempatan yang berbeda, saya bertemu dengan seorang pemuda Papua. Kami sepakat
bertemu di Foodcourt sesaat setelah adzan maghrib dikumandangkan. Perawakannya
tak telalu tinggi, berkaos putih, dan menggunakan topi bercorak batik.
“Assalamu’alaikum, Mbak,” Gullit mengajak saya bersalaman lebih dulu.
“Sejak
kapan tinggal di Jogja?” saya memulai obrolan.
“Sejak
90.” Jawabnya. “Lahir tahun berapa?”
“90,”
jawab Gullit hemat. Ternyata dia lahir di Yogyakarta.
Gullit
mengajak seorang teman yang tak sengaja ia temui di buderan UGM. Saya pun
mewawancarainya tidak sendiri, bersama seorang kawan asal Indramayu, Fitri.
1976
Ayah Gullit memutuskan pindah ke Yogyakarta bersama istrinya. Ayahnya seorang
pemain sepak bola. “Awalnya main di Sinar Oetara, pindah Gama, lalu ke PSIM,”
kisah Gullit. Gullit merasa tidak pernah dididik sebagai orang Papua. Dia
adalah orang Jawa berparas Papua atau orang Papua bermental Jawa. Sejak kecil
ia diajari untuk menyesuaikan diri dengan orang sekitar. Orang tua Gullit sadar
betul apa yang harus mereka lakukan sebagai pendatang. Karena mereka tinggal di
Jawa, mereka mencoba untuk hidup ala Jawa dengan segala kesopananannya. Gullit besar
dengan teman-teman Jawa yang berbahasa Jawa. Seperti lazimnya murid-murid di
Jawa, ia belajar huruf Jawa – hanacaraka – di sekolah.Gullit tegas menyatakan
diri sebagai orang dominan Jawa. Tak disangkal, sebab ia menggunakan topi
bermotif batik itu dengan bangga.
Gullit
tak menafikan darah Papua yang mengalir di tubuhnya. Tapi ia memilih Jawa
sebagai komposisi dominan dalam dirinya. Kalau diprsentase, ia merasa 75 persen
Jawa. Selama 22 tahun hidup di Jawa, baru sekali ia mengunjungi tanah leluhur
di Sorong. Libur panjang tahun lalu, Gullit bersama orang tuanya berada di
Sorong selama tiga bulan.
“Orang
tua di sana tidak segan memukul anaknya, pakai sabuk. Beda dengan orang tua di
Jawa,” kenang Gullit. Ia melihat sendiri familinya di Sorong melakukan itu pada
anaknya. Ia tak pernah diperlakukan demikian oleh orang tua di Jawa. Gullit
heran melihat peringai itu. Ia mengaku tak betah.
Gullit
menilai pendatang Papua di Yogyakarta kurang bisa menyesuaikan diri.
Pemuda-pemuda timur yang mabuk dan bikin rusuh, itu bagian dari kegagalan
beradaptasi. Ia berpegang teguh pada gaya didikan orang tuanya sebagai
pendatang mereka harus banyak belajar untuk menyesuaiakan diri.
“Malu-maluin,”nilainya.
Saat
kecil, Gullit mau tak mau pun harus menelan stigma sebagai orang Timur,
betapapun keras ia berusaha senormal mungkin menjadi seorang Jawa. Pernah orang
tua teman sekolah melarang anaknya bergaul dengan Gullit. “Kalau mereka memang
tidak suka, saya diam saja,” mental cuek ini yang membuat minoritasmacam Gullit
dapat bertahan.
“Saya
dulu kaget kok ada orang Papua di sini,” ujar Agung yang sedari tadi diam di
sebelah Gullit. Mereka berteman sejak di SMP Bopkri 3. Setiap kali Gullit masuk
ke sekolah baru, dari wajah dan namanya ia langsung dikenal sebagai orang
Papua.
“Mas
Gullit punya pacar?” tanya saya iseng. Ia mengangguk. “Orang Jawa?”
“Orang
Ambon. Teman SMA.” Gullit bertemu dengan kekasihnya di SMA Marsudi Luhur. Saat
ditanya kenapa pacaran sama orang Ambon, Gullit hanya menjawabnya dengan senyum.
Preti
dan Gullit punya pengalaman dan pernyataan identitas yang berbeda. Bagi Preti,
Papua adalah tanah ia bemula dan akan terus ia jaga. Papua, bagi Gullit, hanya tanah
dari masa lalu yang masih mengaliri tubuhnya.
http://paschall-ab.blogspot.com/2009/08/ papua-merdeka-2003-43min_27.html |
Republik
tipu-tipu
9
Juni 2012, penghuni twitterland
(sebutan untuk pengguna twitter) ramai
membicarakan tentang bentrok antara warga Babarsari dan sekelompok pemuda
Papua. Dua orang kena bacok dan 24 rumah-kios rusak. Preseden buruk kian kuat
disandarkan pada orang-orang timur.
Menaggapi
berita itu, Gerald dan Vona rasa sedih. Satu dua orang Papua lakukan itu, semua
kena getah. Gerald dengan apik menganalisis persoalan ini mulai dari dasar
persoalan. Bagi Gerald, problem rumit Papua berasal dari satu faktor, yakni
pendidikan. Pemerintah Pusat dan Daerah tidak serius mengembangkan pendidikan
di Papua. Pendidikan dasar lemah. Kesenjangan Papua dan Jawa menganga lebar,
ini sangat dirasakan oleh pendatang Papua di Jawa. Mereka tidak dibekali kemampuan
untuk menganalisis kondisi sosial di sekitarnya. Maka daya adaptasinya
yang kurang ini lambat laun menjadi
stereotipe. Ini merugikan teman-teman Papua yang baik. Semua itu bukan perangai
asli, melainkan sistem pendidikan tidak menolong mereka menjadi lebih baik dari
itu.
Gerald
dan Vona ingin orang paham bahwa kekuarangan orang Papua yang mereka lihat itu
adalah akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Keduanya mendefinisikan
kondisi Papua dengan perspektif kebijakan yang tengah mereka geluti di kampus.
Isu Otonomi Khusus, UP4B, semuanya kebohongan. Berkali-kali rakyat Papua merasa
ditipu melalui kebijakan yang manfaatnya tak pernah merasa rasakan. Padahal,
konon, dana otonomi khusus itu triliunan jumlahnya yang 30 persennya
dialokasikan untuk pendidikan. Tanpa pendidikan rakyat Papua tidak punya daya
untuk melawan penjajahan politis dan budaya. Genosida yang perlahan-lahan.
Kerusuhan
berkembang pesat pascareformasi. Rakyat Papua mulai sadar ketidakadilan yang
melilit kehidupan mereka. Keberadaaan investor asing meletakkan mereka sebagai
kuli di tanah sendiri. Mimpi buruk Freeport tak kunjung usai.
Rakyat
Papua dibodohi, dibodohkan, dibuat tidak berdaya. “Kalau mau diambil tambangnya,
tolong anak Papua disekolahkan dulu biar mereka ikut serta,” Vona melantang.
Gerald
bilang, program AMINEF mulai 2010 menyediakan 80% khusus untuk orang Papuauntuk
belajar di Amerika. Tapi sampai sekarang tidak ada satu pun orang Papua yang
berangkat. Justru yang berangkat iu orang-orang luar Papua atas nama Papua.
“Itu kan kebohongan,” imbuh Gerald. Lalu ada juga rencana beasiswa untuk anak Papua tidak diakomodasi
oleh Pusat.Pemerintah lebih sering mengakomodasi kepentingan asing di Papua,
misalnya Freeport di Timika dan LNG di Teluk Bintuni.
Pemuda
Papua sejati seperti Gerald dan Vona punya segunung harapan untuk tanah
kelahiran mereka. Vona ingin menjadi Teluk Bintuni sebagai daerah pendidikan.
Dengan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi, Vona yakin Bintuni bisa
mewujudkannya. Tapi dia tak sanggup jika sendiri, kalau keinginan itu tidak
dimiliki oleh pejabat lain.
Dilihat
dari kondisi geografis dan budaya, membangun Papua itu lebih sulit dari daerah
manapun di Indonesia. Mestinya pemerintah benar-benar menyeriusi ini, bukan
lagi main tipu. Di era Megawai, pemekaran daerah marak dilakukan. Tapi tidak
ada sumberdaya manusia yang (di)siap(kan). “Kalau pemerintah sudah tidak
sanggup urus kami orang, orang Papua mulai bicara refrendum,” tegas Gerald. Seorang
Gullit pun bicara bahwa persoalan sudara-saudaranya di Papua itu soal
ketidakadilan atas hak. Kerusuhan adalah ekspresi ketidakpuasaan. Tapi tidak
semata-mata itu, kerusuhan itu pun kemungkinan dibikin oleh orang-orang yang
punya kepentingan, bisa jadi pemerintah, militer, perusahaan, atau semuanya
sekaligus.“Kerusuhan itu seperti dimana-mana pasar dibakar agar dapat proyek,”
tamsil Gerald.
“Kebohongan-kebohongan
itu pembelajaran panjang. Ini karena kepolosan kami. Kami ini merasa memiliki
kalian, kok kalian ga merasa memiliki kami? Kalian maju kami juga ingin maju.
Kami ingin kita bersama-sama di dunia ini. Sebangsa kan kita, bukan orang lain,
adik kakak lah dalam satu rumah. Sejujurnya kami orang Papua ini jadi mudah
ditipu lewat kebijakan dari tahun ketahun. Dari Otsus sampai UP4B. Habis ini
apalagi?” ucap Vona getir. Saya sendiri tak sanggup menjawab pekik hati Vona.
Bagi
Vona dan Gerald, tanah Papua adalah alasan mereka untuk hidup dan berjuang. Mereka merindukan kedamaian di tanah kelahirannya, barangkali bersama atau tidak bersama Indonesia.
Tak ada satu pun identitas dapat dijabarkan dengan paripurna, termasuk Papua apalagi Indonesia.
Tak ada satu pun identitas dapat dijabarkan dengan paripurna, termasuk Papua apalagi Indonesia.
***
Keluar
dari studio 21, saya bertanya pada Chumairoh yang nonton bersama saya. “Apa
pesan yang kamu dapat dari film tadi?”
“Apa
ya, saling memaafkan kali ya,” jawabnya polos. Saling memaafkan itu memang
pesan tersurat yang ditulis di akhir penayangan. Pesan itu hadir usai adegan perang
saudara digagalkan oleh nyanyian nyaring Mazmur dan Suryani.
Kami
pun pulang dengan biasa saja sebab film itu tidak cukup membantu kami merasa
memiliki saudara Papua. Sampai asrama saya langsung berjibaku dengan suara
Vona, Gerald, Preti, dan Gullit. Mereka lebih saya percayai berbicara tentang
Papua ketimbang representasi film dan media yang sering kali kurang pas.