Senin, 29 Juli 2013

Menuju Gummersbach


Jumat pertama di bulan mei, bangun tidur menemukan hape dalam keadaan mati. Ketika kunyalakan, sms dari Mbak Tata mencecar. Ternyata, sekitar sejam sebelumnya, Mbak Alissa Wahid berusaha menghubungi saya. Wah, tentu penting. Tapi, apa gerangan?

Tak lama kemudian, Mbak Alissa menelepon saya dengan tawaran yang tak dapat ditolak. “Mbak, sampean mau mewakili GUSDURian ke Jerman?” Meski saya belum sepenuhnya paham saya diutus acara seminar yang bagaimana, lembaga macam apa yang memberangkatkan, saya menurut saja ketika disuruh untuk mengirim CV. Saya pun akhirnya browsing sendiri apa itu Friedrich Naumann Stiftung. Saya tercengang, mereka menggelar seminar internasional tiap bulan di Gummersbach Jerman dengan isu yang beragam. Kali ini, saya kebagian seminar dengan isu Political Leadership for Young Leaders.

Saya melakukan berbagai persiapan karena saya sebenarnya tak cukup percaya diri. Penyebabnya banyak, di antaranya saya merasa bukan kader GUSDURian yang ulet sehingga pantas menerima kehormatan untuk mewakili Gdian ke ajang internasional. Banyak kader yang lebih pengalaman, ulet, dan engaged betul dengan ide-ide GDian. Kedua, bahasa inggris saya standar sekali.

Saya menunggu pengumaman itu persis sebulan. Viola, saya diterima! Dua minggu sebelum pengumuman, saya mengalami pengalaman yang mungkin khas NU. Pertengahan Mei, Gus Dur hadir dalam mimpi saya. Latar belakangnya di Pondok Krapyak. Pertemuan itu hanya saya dan Gus Dur di sebuah ruangan, beliau bilang saya harus belajar cara berpikir orang Jerman. Meski terdengar aneh, saya kian yakin kalau saya berangkat, misi ini tak main-main.

Saya melakukan berbagai persiapan, mulai dari melengkapi berkas untuk apply visa, menulis dua esai tentang isu regional dan Indonesia, juga mencetak beberapa souvenir GDian. Karena sudah lama tidak tertarik lagi dengan isu politik praktis, saya pun menghadap pada Lora Gaffar Karim untuk meminta kursus singkat Politik Indonesia hanya dalam waktu satu jam. Saya juga menemui Mbak Alissa untuk meminta pertimbangan pesan apa yang harus saya bawa ke sana.

Mbak Anung dan Mbak Vero adalah dua staff FNF yang paling berjasa mengurus pemberangkatan saya. Mereka menyiapkan berkas-berkas penting seperti inivitation letter, asuransi, tiket pesawat, bahkan invitation letter untuk extend.  Mereka baik sekali . FNF memberi waktu extend lima hari termasuk waktu di perjalanan. Saya memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini jalan ke Paris. Ini rute yang lazim buat mahasiswa Indonesia yang punya acara di Jerman atau Belanda untuk datang ke Perancis karena faktor jarak yang dekat.

Appoinment pengurusan visa di Kedutaan Jerman jatuh pada 19 Juni. Kedutaan Jerman terkenal paling galak di antara kedutaan-kedutaan lain yang mengeluarkan Visa Schengen. Dengan saran dari Kang Munawir Aziz, saya pun baca fatihah sejak berangkat dari kosan Mamski Inda Marlina di Karet hingga sampai ke kedutaan demi kelancaran pengurusan visa saya.

Suasana di Kedutaan Jerman memang tidak terlalu bersahabat. Semuanya hening, Cuma ada suara petugas loket dan pengaju visa yang tengah diwawancara. Ada tv, tetapi bisu. Saya tidak berhenti berdoa dan mengecek berkali-kali kelengkapan berkas saya.

Ada empat loket. Saya perhatikan, loket dua dan tiga yang paling galak. Ada lelaki muda yang lama sekali diwawancara, entah apa persoalannya. Akhirnya saya pun dipanggil ke loket dua. Saya lihat, Mbak petugasnya cantik, berkacamata, etnis Tionghoa. Pertanyaan pertama standar saja, mau apa ke Jerman. Saya sebut saja seminar FNF, Mbaknya jadi tidak tanya banyak lagi.

Lalu dia menemukan lembar rekomendasi dengan kop surat Jaringan GUSDURian dan tanda tangan Alissa Wahid. “Apa ini GUSDURian?”
“Itu komunitas, Mbak.”
“Komunitas  apa?”
“Itu yang tanda tangan putrinya Gus Dur. Ini semacam komunitas penerus pemikiran Gus Dur.”
“Oh, komunitas Gitu Aja Kok Repot, ya?” sambil senyum sedikit.
“Haha, iya, Mbak. Makanya, jangan dibikin repot ya visa saya”

Jebret! Stempel mendarat di aplikasi saya. Selesai sudah mengurus visa di Kedutaan Jerman yang katanya horor itu.

Saya berangkat tanggal 29 Juni dari Cengkareng dengan kondisi hati yang tak karuan. Sebab saya masih tidak cukup percaya diri. Indonesia, Gus Dur, dan GUSDURian itu bukan perkara enteng untuk saya wakili. Saya terbang dengan bekal doa dari kedua orang tua dan orang-orang yang mencintai saya.

1 komentar:

  1. niiing.... kereeenn.. kok mpun ceritanya???
    kulo rantos cerita selengkapnya nggih ;)

    BalasHapus

jangan lupa dikomen ya! :)