Selasa, 28 Oktober 2014

Surat Tanpa Amplop untuk Pemimpin Masa Depan


Saya tak pernah membayangkan, para pemimpin yang ‘mengerjakan’ Indonesia berpetuah dengan nada yang amat pribadi kepada saya. Itulah yang saya rasakan ketika membaca kumpulan surat yang datang dari hati dengan menggugah kenangan dan pengalaman yang telah mereka lalui. Salah satu yang membuat saya tertegun adalah ungkapan Emil Salim, ‘Kini kau mahasiswa berusia duapuluhan. Bagaimana Indonesia jika kau capai usia 40-an?’ Kalimat Emil Salim ini merumuskan pertanyaan inti yang tersebar dalam seluruh isi buku ini. Seluruh tulisan mengurai dua kata kunci magis, ‘Pemimpin’ dan ‘Indonesia’.

Buku ‘Surat dari Pemimpin untuk Pemimpin’ ini berisi surat yang ditulis oleh 95 pemimpin di Indonesia. Versi pemimpin ini sebaik mungkin dipilih oleh Tempo, meski masyarakat boleh tak suka atau bersepakat dengan pilihan pengumpul surat. Bahkan barangkali ada penulis yang sama sekali tak pernah didengar namanya. Namun dalam tulisannya, pembaca bisa memahami bahwa penulis surat tengah melakukan sesuatu untuk Indonesia. Karena ia telah bekerja, ia bisa berharap kelak pekerjaannya akan ada yang meneruskan.
Surat-surat ini dikumpulkan untuk menyampaikan pemikiran dan suara hati generasi pemimpin masa kini kepada generasi pemimpin masa depan. Buku ini diluncurkan oleh Tempo Institute bersama General Electric Indonesia dan Garuda Indonesia sebagai bagian dari program ‘Menjadi Indonesia’.  Yakni sebuah upaya untuk mendorong perubahan Indonesia yang lebih baik melalui tangan para pemimpin lintas generasi.

95 pemimpin yang mengirimkan suratnya kepada pemimpin penerus bangsa di antaranya; Franz Magnis-Suseno, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohammad, Joko Widodo, Rahman Toleng, Quraish Shihab, Dahlan Iskan, Andrea Hirata, Pandji Pragiwaksono, Butet Manurung, Joko Pekik, Mira Lesmana, dan puluhan nama lainnya. Mereka adalah politisi, agamawan, negarawan, seniman, budayawan, atau mungkin jenisnya sulit untuk dikategorisasi. Tetapi mereka semua masuk dalam satu jenis manusia, pecinta Indonesia lewat kerja. Di buku ini, mereka berbagi kisah, gagasan, cita-cita, kritik, dan pengalaman.

Memaknai ‘Pemimpin’

Apakah Stalin itu pemimpin? Ia menggerakkan banyak orang di bawah kepemimpinannya. Dia sangat berkuasa dan berani menerima tantangan Hitler untuk berperang dengan Jerman di bawah pengaruh Nazi. Apakah Hitler itu pemimpin? Stalin dan Hitler memiliki pengaruh secara politis dan ideologis sampai hari ini. Sejarah dunia mencatat mereka, di antaranya melalui ingatan bahwa jutaan nyawa telah mereka hilangkan. Apakah mereka berdua pemimpin?

Pertanyaan ini agaknya sulit untuk dijawab. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menyatukan keinginan dan gerak kerja dalam dirinya. Pemimpin diri sendiri haruslah mampu membuat gagasannya dikerjakan oleh seluruh anggota tubuh. Dalam skala yang lebih besar, pemimpin harus mamengaruhi (influence) komunitasnya untuk mengerjakan visi bersama dan membuat mereka percaya (trust) bahwa ia bisa memimpin mereka. Stalin dan Hitler memenuhi dua syarat ini. Tetapi, bisakah disebut pemimpin jika yang ia kerjakan berlawanan dengan kemanusiaan?

Saya menemukan para pemimpin dalam buku ini adalah para pekerja keras dan bernurani, bukan berarti mereka luput dari kesalahan. Surat yang mereka tulis adalah kabar buruk bagi para pemalas. Untuk menjadi menteri, direktur, pemusik handal, penulis terkenal, wali kota, dan bahkan penjaga gunung, setiap langkah dalam masa lalu sungguh menentukan mereka hari ini.

Biarkan saya memilih salah satu kisah, milik Susi Pudjiastuti, direktur SUSI Air. Ia besar di Pangandaran sebagai gadis putus sekolah dan terpaksa menjalani kehidupan dengan menjual apa saja yang bisa dijual. Setelah lika-liku panjang, ia menemukan lobster sebagai dagangan yang menjadi kunci perubahan hidupnya. Ia tertantang untuk membuat terobosan, yaitu menerbangkan lobster ke Jakarta supaya bisa sampai dalam keadaan segar. Sejak saat itu, Susi konsisten mengudara. Pada 2006, tanpa kepastian keselamatan landas, ia bersikeras mendaratkan pesawat pertama kali di Meulaboh guna mendaratkan bantuan bagi korban tsunami yang masih terisolir.

Pesan Susi bagi generasi muda sungguh menghentak, “mulailah ubah pola pikir kita untuk selalu mau bekerja keras, jangan berleha-leha. Sangatlah tidak pantas di negeri yang kaya raya, kita menjadi miskin.”

Lantas dari mana kita harus memulai untuk memimpin Indonesia? Bondan Winarno yang masyhur dengan jargon ‘maknyus’  itu menawarkan sebuah etos hidup. Lakukan yang terbaik untuk perkara seremeh apapun. Melakukan yang terbaik untuk setiap perkara yang bisa dikerjakan itu berarti menjalani hidup dengan konsistensi dan integritas. Tak peduli, meski perkara itu tampak sepele. Manusia yang mengerjakan perkara dengan kemampuan terbaik dalam hidupnya, ia akan mendapat kesempatan untuk meraih jalan yang lebih baik.

Indonesia ini barangkali terlalu luas untuk dijaga. Tetapi jika masing-masing dari kita mau mengelola energi untuk konsisten menjaga seremeh apapun tentang Indonesia, maka ada 240 juta energi yang bekerja untuk Indonesia. Sayangnya hari ini, barangkali separuh di antaranya tak mengerjakan apa-apa untuk diri mereka, apalagi Indonesia. Sebagian dari Indonesia justru merusak dirinya dengan korupsi, meneror, dan membodohi.

Seabad Indonesia

Buku ini seolah hadir untuk mengingatkan dengan keras para generasi muda yang hidup dengan miskin bacaan dan penjelajahan. Indonesia di usia satu abad kelak akan ada di tangan generasi muda yang dilimpahi banyak utang, kekecawaan, dan sinisme di dekade ini. Akan seperti apa rupa Indonesia pada usia 100 tahun?  

Dari surat-surat generasi senior yang lebih lama hidup dan menghidupi Indonesia, pesan-pesan mereka teramat dalam untuk kita menghargai perbedaan dan merawat kebhinekaan. Karagaman ini hanya bisa hidup dalam iklim demokratis yang berbahan bakar rasionalitas dan bisa padam oleh sikap emosional dan provokatif. Para generasi terdahulu telah seoptimal mungkin sampai pada pencapaian mereka. Tetapi, generasi yang datang selanjutnya tidak lahir dengan kebijaksanaan yang dipalajari generasi tua selama hidupnya. Mereka harus belajar lagi dan dituntut untuk mencapai kemajuan yang lebih mutakhir. Juga menghindari pertumpahan darah atas nama agama, etnis, dan rezim politik.

Rahman Toleng seorang aktivis yang lahir delapan tahun sebelum kemerdekaan, mengutip sebuah puisi karya sosialis Belanda dalam suratnya; “kami ini bukanlah generasi pembangun candi/kami hanyalah pengangkut bebatuan/kami adalah angkatan yang harus punah/agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami.”

Membayangkan seabad Indonesia mungkin terlalu maju untuk dipikirkan sekarang. Sementara persoalan kita saat ini belum tentu bisa selesai besok. Tetapi kita terus terdesak oleh angka, refleksi itu semakin dalam dengan semakin tua bangsa kita. Kemajuan Indonesia di hari esok bergantung pada upaya manusia Indonesia hari ini.

Buku ini lebih dari sekadar berisi motivasi, melainkan upaya akselerasi watak penggerak kebangsaan yang gigih. 95 orang ini adalah para penyala optimisme untuk Indonesia mendatang karena mereka telah bekerja dan memahami bahwa tujuan Indonesia makmur sangat mungkin dicapai. Sinisme hanya lahir dari orang yang tidak melakukan apa-apa. Tinggal pilih kita mau ‘Menjadi Indonesia’ yang mana.




   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa dikomen ya! :)